JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibuat tidak untuk memberangus masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Semuel ketika ditanya tentang UU ITE yang dinilai membahayakan demokrasi dalam konferensi pers bertajuk Strategi Kominfo Menangkal Hoaks Covid-19 secara daring, Senin (19/10/2020).
Semuel mengatakan, UU ITE merupakan rambu-rambu agar lalu lintas di ruang digital menjadi lebih tertib.
"UU ITE dibuat untuk membuat ketertiban. Tak ada sedikit pun saya lihat yang namanya pemberangusan," kata Semuel.
Baca juga: Kemenkominfo: UU ITE adalah Rambu-rambu Ruang Digital
Mengenai Pasal 27 Ayat 3 yang kerap dipakai dalam melaporkan seseorang ke polisi, Semuel mengakui bahwa pasal tersebut kerap menjadi pokok laporan terkait UU ITE.
Pasal tersebut memuat soal perbuatan yang dilarang dalam berinteraksi di dunia digital.
Pasal 27 Ayat 3 itu berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Semuel juga menilai, persoalan terkait UU ITE yang banyak terjadi saat ini merupakan permasalahan antar-masyarakat, atau bukan antara negara dengan masyarakat.
"Ini yang perlu dipahami. Jadi tidak ada upaya untuk memberangus masyarakat. UU ini adalah rambu-rambu supaya jalannya tertib untuk di ruang digital," kata dia.
Hingga kini, tak sedikit warga yang dilaporkan ke polisi dengan UU ITE ketika menyuarakan pendapatnya di media sosial.
Baca juga: Pasal dalam UU ITE Dinilai Bahayakan Demokrasi
Tak sedikit di antara mereka yang berujung ke jeruji besi karena dianggap mencemarkan nama baik.
Hal ini pula yang membuat sejumlah kalangan menganggap UU ITE membatasi kebebasan masyarakat untuk berekspresi.
Pasal-pasal didalamnya pun dianggap sebagai pasal karet.
Salah satu kasus yang menyita perhatian terkait UU ITE yakni kasus Prita Mulyasari pada 15 Agustus 2008.
Saat itu, Prita menuliskan surat elektronik (e-mail) berisi keluhan kepada teman-temannya terkait layanan RS Omni Internasional di Tangerang.
Namun, isi e-mail untuk kalangan terbatas itu tersebar ke sejumlah mailing list di internet.
Pihak RS Omni pun mengambil langkah hukum.
Baca juga: UU ITE Bisa Jerat Siapa Pun yang Apes, Tak Hanya Prita atau Ahmad Dhani
Prita pun dijerat dengan Pasal 310 dan 311 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik serta Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ancaman hukumannya, enam tahun penjara.
Pengadilan Negeri (PN) Tangerang sempat memvonis bebas Prita, kemudian majelis hakim tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA) mengganjarnya dengan pidana 6 bulan penjara dengan masa percobaan setahun.
Prita akhirnya bebas setelah Peninjauan Kembali (PK) terhadap kasusnya dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada 17 September 2012.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.