Kampanye didorong dilakukan secara daring. Namun, kegiatan tatap muka tetap dapat dilakukan secara terbatas dan disesuaikan dengan protokol kesehatan.
Tahapan kampanye pun dimulai pada 26 September 2020. Temuan Bawaslu menyebutkan, selama 20 hari pertama masa kampanye, kegiatan tatap muka masih mendominasi. Sebaliknya, kampanye daring sangat minim.
Baca juga: Pelanggaran Protokol Kesehatan Paling Banyak Terjadi di Pertemuan Terbatas Kampanye Pilkada
Bawaslu mencatat, selama 6-15 Oktober, ada 16.468 kegiatan kampanye pertemuan tatap muka di 270 daerah yang menyelenggarakan Pilkada. Jumlah itu meningkat tajam dibandingkan pada periode 10 hari pertama yaitu sebanyak 9.189 kegiatan kampanye.
Selain itu, Bawaslu juga menemukan bahwa pelanggaran protokol kesehatan saat kampanye mengalami peningkatan. Terdapat 375 pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi pada kurun 6-15 Oktober 2020.
Angka pelanggaran bertambah 138 kasus bila dibandingkan dengan pengawasan pada kurun waktu sebelumnya, yaitu pada 26 September hingga 5 Oktober yang tercatat 237 kasus.
“Bawaslu menindaklanjuti pelanggaran tersebut dengan memberikan peringatan tertulis untuk pasangan calon dan/atau tim kampanye hingga pembubaran kampanye,” ungkap anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin dalam keterangan tertulis, Sabtu (17/10/2020).
Tahapan kampanye masih akan berlangsung hingga 4 hari jelang pemungutan suara atau 5 Desember 2020.
Kewenangan menunda
Di tengah tahapan Pilkada yang terus bergulir, suara-suara yang meminta pilkada ditunda tetap bermunculan. Komisioner KPU RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, pihaknya tidak bisa secara sepihak memutuskan untuk menunda Pilkada.
Sesuai dengan bunyi ketentuan perundang-undangan, kata Raka, penundaan Pilkada harus melalui kesepakatan bersama antara KPU, pemerintah dan DPR. Ketentuan yang dimaksud Raka yakni Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yang kini telah ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2020.
"KPU tentu terikat pada keputusan bersama sebagaimana diatur dalam Perppu 2/2020 yang kemudian diundangkan menjadi UU Nomor 6 tahun 2020. Jadi tentu tidak ada pilihan lain, kecuali nanti keputusan itu diubah," kata Raka kepada Kompas.com, Selasa (6/10/2020).
Baca juga: KPU: Jika Pandemi Covid-19 Makin Buruk, Pilkada Memungkinkan Ditunda
Sementara, Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa mengatakan, pihaknya akan mempertimbangkan untuk menunda pelaksanaan Pilkada 2020 di sebagian daerah, jika daerah-daerah peserta Pilkada tersebut memiliki status zona merah terkait Covid-19.
Menurut dia, KPU harus memetakan daerah-daerah peserta Pilkada berserta statusnya terkait Covid-19. Setelahnya baru diambil kebijakan.
"Jika dibutuhkan, karena status zona yang dilakukan KPU, Bawaslu dan pemerintah dan satgas maka kita bisa pertimbangkan daerah-daerah yang berbahaya untuk ditunda Pilkada," kata Saan saat dihubungi Kompas.com, Jumat (9/10/2020).
Menanggapi hal ini, pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menyebut, Presiden Jokowi bisa saja mengambil keputusan untuk menunda Pilkada 2020 tanpa melibatkan Kementerian Dalam Negeri, DPR dan KPU.
Namun demikian, untuk mengambil tindakan tersebut, diperlukan Perppu baru terkait Pilkada untuk menggantikan Perppu Nomor 2 Tahun 2020.
"Kalau Presiden ingin menunda (Pilkada) sendiri karena pertimbangan dia yang paling paham soal lapangan terkait kesiapan, apalagi jumlah orang yang berjatuhan, ya dia harus menabrak ketentuan Perppu (lama) itu dengan membentuk Perppu yang baru," kata Feri saat dihubungi Kompas.com, Senin (28/9/2020).
Baca juga: Rekomendasi LIPI dan Desakan NU-Muhammadiyah untuk Tunda Pilkada 2020...
Menurut Feri, apabila Presiden secara sepihak hendak menunda Pilkada, maka dalam Perppu baru dapat disebutkan bahwa Presiden berwenang menyatakan penundaan pilkada, jika dianggap telah terjadi hal-hal yang dinilai membahayakan orang banyak.
Dengan demikian, ketentuan dalam Perppu lama yang mensyaratkan penundaan Pilkada harus melalui keputusan pemerintah, DPR dan KPU, dengan sendirinya terhapuskan.
"Kalau memang mau menunda ya keluarkan Perppu yang baru, menunda dalam artian tanpa perlu persetujuan tripartit itu, DPR pemerintah dan penyelenggara," kata dia.
Meski begitu, di tengah desakan penundaan dan munculnya pandangan-pandangan sejumlah pihak, hingga kini belum ada tanda-tanda Presiden hendak menunda Pilkada. Tahapan Pilkada pun terus berjalan bersamaan dengan meluasnya penularan virus corona.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.