JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti mengatakan, pada satu tahun pertama pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin tercatat sebanyak 158 pelanggaran atas kebebasan sipil.
Pelanggaran itu berupa pembatasan maupun serangan terhadap kebebasan sipil.
"Kontras menemukan dalam satu tahun terakhir terdapat 158 peristiwa pelanggaran, pembatasan, ataupun serangan terhadap kebabasan sipil," ujar Fatia dalam konferensi pers secara daring pada Senin (19/10/2020).
Jumlah itu terdiri dari pelanggaran terhadap hak asosiasi (4 peristiwa), pelanggaran atas hak berkumpul (93 peristiwa) dan pembatasan hak berekspresi (61 peristiwa).
Baca juga: Setahun Jokowi-Maruf, Kontras: Indonesia dalam Ancaman Resesi Demokrasi
Pelanggaran-pelanggaran tersebut melibatkan polisi sebagai aktor utama penyerangan terhadap kebebasan sipil.
"Selain itu, pandemi Covid-19 juga dijadikan alasan untuk memberangus ruang sipil, diantaranya melalui pembubaran aksi, dalam banyak peristiwa secara represif," tutur Fatia.
Hal ini menunjukkan bahwa negara telah gagal dalam menyediakan akses yang efektif bagi masyarakat untuk mengkomunikasikan aspirasinya melalui jalur-jalur lain agar dapat mempengaruhi kebijakan negara, selain melakukan aksi massa.
Terlebih, terdapat perkembangan metode serangan terhadap kebebasan berekspresi, yakni pembungkaman siber dalam bentuk peretasan, intimidasi, doxing, bahkan penyiksaan di ruang siber.
Baca juga: Kontras Catat 20 Aduan Tindak Kekerasan Aparat Saat Demo Selasa Lalu
"Kemudian, dari segi perlindungan terhadap pembela HAM, dalam satu tahun terakhir kami menemukan pola yang terus berulang, yakni berlarutnya proses hukum terhadap pelaku penyerangan terhadap pembela HAM," ungkap Fatia.
"Hal ini dapat dilihat dalam penanganan kasus Novel Baswedan, Golfrid Siregar, dan Ravio Patra," lanjutnya.
Sementara itu, dalam aspek penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, selama satu tahun ini nyaris tidak ada kemajuan.
Bahkan, dalam beberapa hal justru terjadi kemunduran.
Baca juga: Korban Kekerasan Aparat dalam Aksi Reformasi Dikorupsi Mengadu ke Ombudsman
"Hal ini terlihat dari dikembalikannya berkas penyelidikan peristiwa Paniai oleh Jaksa Agung kepada Komnas HAM, dinyatakannya deklarasi damai peristiwa Talangsari sebagai maladministrasi oleh Ombudsman, " tutur Fatia.
"Kemudian, pernyataan Jaksa Agung bahwa tragedi Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat, serta diangkatnya aktor-aktor pelanggaran HAM berat sebagai pejabat pemerintahan," lanjutnya.
Keseluruhan peristiwa ini menegaskan bahwa isu pelanggaran HAM berat bagi Joko Widodo hanya merupakan komoditas politik tanpa ada niatan untuk benar-benar menyelesaikannya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.