JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Departemen Buruh Perempuan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Dian Septi mengatakan, omnibus law UU Cipta Kerja merupakan undang-undang yang patriarkis dan tidak demokratis.
Menurut dia, UU Cipta Kerja mengabaikan hak-hak pekerja/buruh perempuan secara sistematis.
Selain itu, penolakan terhadap UU Cipta Kerja pun ditanggapi secara represif oleh aparat penegak hukum.
Baca juga: Sulitnya Mengakses Dokumen Penyusunan dan Draf Final UU Cipta Kerja...
"Omnibus law ini berwatak patriarki, tidak demokratis, tidak transparan, dan represif ketika ditolak," ujar Dian dalam konferensi pers 'Buruh Perempuan Tolak Omnibus Law Cipta Kerja', Senin (19/10/2020).
"Memang dirancang untuk melindungi penguasa dan pemodal, menundukkan dan menyingkirkan kelompok yang tidak mempunyai kekuasaan, dalam hal ini buruh perempuan adalah yang paling rentan," kata Dian Septi.
Ia berpendapat, pemerintah tidak memperhatikan kesejahteraan pekerja perempuan ketika menyusun UU Cipta Kerja.
Dian mencontohkan soal hak cuti haid dan hak cuti hamil-melahirkan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
Baca juga: Jokowi Utus Mensesneg Serahkan Naskah UU Cipta Kerja ke NU dan Muhammadiyah
Mestinya, hak untuk menjalankan fungsi reproduksi perempuan itu diperkuat dalam UU Cipta Kerja.
Sebab, kata Dian, banyak celah yang dilanggar perusahaan meski hak cuti haid dan melahirkan telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
"Banyak yang karena statusnya kontrak, buruh perempuan kemudian mengaku tidak hamil karena takut diputus kontraknya atau takut tidak dipekerjakan kembali," tuturnya.
"UU 'Cilaka' tidak menjawab perlindungan terhadap perempuan," kata Dian.
Baca juga: UU Cipta Kerja Hapus Aturan Batas Waktu Kerja bagi Pekerja Kontrak
Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 88B dalam UU Cipta Kerja. Menurut Dian, pasal tersebut berpotensi memiskinkan perempuan, terutama yang sedang menjalankan fungsi reproduksinya karena dianggap tidak produktif.
"Ketika perempuan dalam fase reproduksi entah hamil atau menyusui, ada fase-fase harus istirahat," kata Dian.
"Dalam tiga bulan pertama buruh hamil, ada fase di mana muntah-muntah sehingga perlu istirahat ke klinik. Dan jam-jam ketika istirahat itulah ada potensi ia tidak dibayar karena upahnya dihitung per jam," ujar dia.
Baca juga: Komnas Perempuan: UU Cipta Kerja Berpotensi Rugikan Pekerja Perempuan
Selain itu, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang sebelumnya diatur paling lama tiga tahun.
PKWT dalam UU Cipta Kerja terkesan dibuat fleksibel dan ketentuan lebih lanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah (PP).
Dian mengatakan, penghapusan ketentuan PKWT ini memperlihatkan bahwa pemerintah lupa dengan ketimpangan relasi antara pekerja dan pengusaha. Menurutnya, UU Cipta Kerja melahirkan pemiskinan sistematis.
Apalagi, kata Dian, banyak pula pekerja perempuan yang menjadi kepala keluarga atau pencari nafkah utama.
"Ini mengabaikan bahwa posisi tawar buruh, terutama buruh perempuan yang telah bekerja sekian tahun, sudah rentan dengan budaya patriarki, posisi tawar pengusaha dan buruh perempuan itu timpang," ujar Dian.
Baca juga: Dari Kontrak Seumur Hidup hingga PHK Sepihak, Ini 8 Poin UU Cipta Kerja yang Jadi Sorotan Buruh
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.