Pengabaian perlindungan terhadap pekerja perempuan juga makin kentara dengan adanya ketentuan pengupahaan ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil.
Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 88B dalam UU Cipta Kerja. Menurut Dian, pasal tersebut berpotensi memiskinkan perempuan, terutama yang sedang menjalankan fungsi reproduksinya karena dianggap tidak produktif.
"Ketika perempuan dalam fase reproduksi entah hamil atau menyusui, ada fase-fase harus istirahat," kata Dian.
"Dalam tiga bulan pertama buruh hamil, ada fase di mana muntah-muntah sehingga perlu istirahat ke klinik. Dan jam-jam ketika istirahat itulah ada potensi ia tidak dibayar karena upahnya dihitung per jam," ujar dia.
Baca juga: Komnas Perempuan: UU Cipta Kerja Berpotensi Rugikan Pekerja Perempuan
Selain itu, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang sebelumnya diatur paling lama tiga tahun.
PKWT dalam UU Cipta Kerja terkesan dibuat fleksibel dan ketentuan lebih lanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah (PP).
Dian mengatakan, penghapusan ketentuan PKWT ini memperlihatkan bahwa pemerintah lupa dengan ketimpangan relasi antara pekerja dan pengusaha. Menurutnya, UU Cipta Kerja melahirkan pemiskinan sistematis.
Apalagi, kata Dian, banyak pula pekerja perempuan yang menjadi kepala keluarga atau pencari nafkah utama.
"Ini mengabaikan bahwa posisi tawar buruh, terutama buruh perempuan yang telah bekerja sekian tahun, sudah rentan dengan budaya patriarki, posisi tawar pengusaha dan buruh perempuan itu timpang," ujar Dian.
Baca juga: Dari Kontrak Seumur Hidup hingga PHK Sepihak, Ini 8 Poin UU Cipta Kerja yang Jadi Sorotan Buruh
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.