JAKARTA, KOMPAS.com - Satu tahun telah berlalu sejak Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) hasil revisi mulai berlaku pada 17 Oktober 2019. Hampir satu tahun pula proses pengujian undang-undang kontroversial itu berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejumlah pihak mengajukan permohonan uji formil atas UU KPK, salah satunya mantan komisioner KPK Laode M Syarif. Ia berharap MK dapat membatalkan UU KPK hasil revisi, sebab proses penyusunannya dinilai cacat prosedur.
Baca juga: Minta MK Kabulkan Uji Formil UU KPK, Laode: Dengarkan Kata Hati, Dahulukan Keadilan
"Dengan melihat bahwa memang betul syarat-syarat formil revisi Undang-Undang KPK itu dapat dibuktikan empiris oleh para pemohon, maka sangat berharap kepada para hakim mahkamah yang mulia mendengarkan kata hati, mendahulukan keadilan, demi negeri demi kemanusiaan," kata Laode dalam acara diskusi bertajuk Refleksi Satu Tahun Pengundangan UU KPK Baru: Menakar Putusan Akhir Uji Materi UU KPK, Sabtu (17/10/2020).
Laode bersama sejumlah mantan pimpinan KPK, yakni Agus Rahardjo, Saut Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, dan Mochamad Jasin mengajukan permohonan formil atas UU KPK.
Selain itu, sejumlah pegiat antikorupsi juga terdaftar sebagai pemohon, antara lain Ismid Hadad, Tini Hadad dan Betty Alisjahbana.
Mereka meminta agar MK menyatakan UU KPK cacat formil dan prosedur sehingga tidak dapat diberlakukan atau batal demi hukum.
Laode mengatakan, proses revisi UU KPK bermasalah karena KPK sebagai pemangku kepentingan utama dalam undang-undang tersebut tidak dilibatkan.
Baca juga: Satu Tahun Revisi UU KPK, Azyumardi Azra: Politik Kita Penuh Gimmick
Kemudian, pimpinan KPK saat itu sempat mengirimkan surat ke Presiden Joko Widodo untuk menjelaskan sikap KPK. Pimpinan KPK juga sudah bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk memberi masukan terkait draf revisi UU KPK.
Namun, kedua upaya itu tidak digubris.
Selain itu, kata Laode, KPK juga tidak pernah diundang oleh DPR untuk dimintai pendapatnya dalam proses pembahasan revisi UU KPK.
"Jadi betul-betul prosesnya sangat tertutup. KPK sendiri tidak mengetahui pasal mana yang diubah, semuanya yang kita ketahui hanya berdasarkan informasi media massa," kata Laode.
Persoalan lainnya menurut Laode yaitu tidak adanya naskah akademik dan Rapat Paripurna pengesahan UU KPK yang tidak kuorum.
Ugal-ugalan
Ismid Hadad yang juga menjadi pemohon mengatakan, MK mesti mengabulkan judicial review UU KPK agar DPR dan Pemerintah tidak lagi ugal-ugalan dalam menyusun undang-undang.
Sebab, setelah berhasil mengesahkan revisi UU KPK, DPR telah meloloskan sejumlah UU yang dianggap kontroversial karena dibahas secara kilat dan senyap.
Ismid mencontohkan revisi UU Mineral dan Batubara, UU Mahkamah Konstitusi dan UU Cipta Kerja yang akhirnya menciptakan gelombang protes di sejumlah wilayah.
Baca juga: MK Diminta Kabulkan Gugatan Uji Formil UU KPK Agar DPR Tak Lagi Ugal-ugalan
"Kenapa proses ini penting sekali diuji kembali dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi? Karena para pembuat, penyusun, dan pembentuk UU yaitu DPR bersama dengan pemerintah, sekarang ini melakukan proses pembuatan undang-undang itu dengan cara-cara yang semakin seenaknya sendiri," kata Ismid.
"Saya bilang bahkan dengan cara-cara yang sembrono, ugal-ugalan, terburu-buru, dan sama sekali tidak peduli kepada suara rakyat," tutur dia.
Menurut Ismid, sikap seenaknya tersebut tidak lepas dari catatan bahwa MK belum pernah mengabulkan permohonan uji formil atas sebuah undang-undang.
Ismid pun berharap MK dapat menegakkan marwahnya dengan mengabulkan gugatan uji formil UU yang proses penysunanannya bermasalah, termasuk UU KPK.
"Kami mohon kepada Mahkamah Konstitusi agar dihentikan kesan dan citra dari Mahkamah Konstitusi diperlakukan hanya sekadar sebagai cuci piring yang kotor yang dilakukan oleh para anggota DPR dan juga dibenarkan oleh Pemerintah untuk produk UU yang hasilnya jorok dan merugikan masyarakat," kata dia.
Pelemahan KPK
Dalam kesempatan yang sama, Mochamad Jasin mengatakan, satu tahun setelah berlakunya revisi, pelemahan KPK yang dikhawatirkan publik kini menjadi kenyataan.
Menurut Jasin, hal itu tercermin dari melemahnya kinerja penindakan yang tidak lagi menyasar pelaku korupsi kelas kakap.
"Orang-orang yang ditangani ini skalanya kecil, di bawah, paling tinggi adalah tingkat bupati dan wali kota. tidak seperti periode I sampai dengan IV," ujar Jasin.
Baca juga: Pukat UGM Sebut Revisi UU KPK Terbukti Melumpuhkan KPK
Kinerja di sektor pencegahan juga dinilai tidak memuaskan. Sebab, menurut Jasin, belum ada perbaikan sistem secara menyeluruh demi mencegah terjadinya korupsi, khusunya di sektor perizinan.
Jasin menuturkan, tidak efektifnya pencegahan yang dilakukan KPK itu turut dipengaruhi oleh kinerja penindakan KPK yang tidak menggigit.
"Dulu agak bisa berjalan di pembenahan sistem saat KPK melakukan kajian sistem karena penindakannya cukup tegas, jadi instansi itu khawatir apabila tidak melaksanakan rekomendasi saran-saran dari KPK untuk melakukan perubahan sistem," kata Jasin.
Baca juga: Sidang Uji UU KPK Hasil Revisi, MK Panggil Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK
Senada dengan Laode dan Ismid, Jasin berharap MK dapat mengabulkan gugatan atas UU KPK hasil revisi yang dinilai telah nyata membuat lemah KPK.
"Syarat-syarat untuk memenuhi dari aspek formilnya saja tidak terpenuhi apalagi yang materil, yang saya singgung dampak riil dari pemberantasan korupsinya sangat-sangat menurun," kata dia.
Adapun proses sidang uji formil UU KPK kini tinggal menunggu putusan MK setelah para pemohon menyerahkan kesimpulan.
Beberapa saksi yang telah memberikan kesaksian dalam persidangan antara lain penyidik KPK Novel Baswedan, Wakil ketua KPK Alexander Marwata dan Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Panggabean.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan