Demikian pula ruang partisipasi publik mengendap begitu saja. Jika pun ada rapat dengar
pendapat, upaya sinkronisasinya tidak mudah disolidkan di tengah kepentingan kaum
kapitalis yang lebih menjulur di depan redaksi naskah.
Bahkan, Bank Dunia yang awalnya ikut mendorong hadirnya omnibus law ini juga
memberikan kritikan keras ketika rancangan undang-undang itu disetujuai DPR.
Ia dianggap bisa melukai buruh dan lingkungan di Indonesia karena sikap over-atraktif kepada investor dan pengusaha. Memang sejak awal kehadiran UU Cipta Kerja diharapkan menjadi jalan recovery bagi ekonomi Indonesia di tengah pandemi Covid-19.
Namun dengan sikap tidak hati-hati, ia berpeluang memojokkan buruh, lingkungan, dan politik agraria ke dalam enigma kerusakan dan kemiskinan.
Dilema dalam pilihan
Meski demikian, seberapa buruk pun rancangan undang-undang yang disahkan di mata
pengkritik, ada aspek alam pikir pemerintah yang patut dipertimbangkan. Kalau
mendengar kembali pidato Presiden Jokowi pada pelantikannya di MPR pada 20
Oktober 2019, ia menyebutkan kata-kata “omnibus law”.
Kata-kata itu muncul setelah Jokowi menyampaikan mimpinya bahwa Indonesia pada
100 tahun kemerdekaan harus bisa lepas sebagai negara dengan jebakan pendapatan
menengah.
Baca juga: Saat Buruh Tanggapi Moeldoko yang Sebut Penolak UU Cipta Kerja Susah Diajak Bahagia
Pada saat itu datang, Indonesia adalah negara maju dengan pendapatan per kapita Rp 320 juta per tahun. Mimpi itu akan terlaksana jika beberapa hambatan pembangunan seperti problem SDM, infrastruktur, regulasi, birokratisasi, dan transformasi ekonomi diselesaikan sejak sekarang.
Pemerintah harus bertarung dalam lorong sempit untuk menghapus hambatan perundang-undangan yang saling tumpang-tindih.
Inilah dilema yang dihadapi Jokowi dalam matra pembangunan saat ini. Problem yang
disebutkan bukan ciptaannya.
Masalah itu telah berkalang, lengket di langit-langit pembangunan bangsa sejak lama dan tidak diselesaikan dengan tuntas oleh pemerintah reformasi sebelumnya. UU Cipta Kerja ini nantinya dianggap sebagai formula saktinya.
Namun di sisi lain ada tuntutan demokrasi yang juga harus diperhatikan. Pelembagaan
dan perbaikan kualitas demokrasi adalah tuntutan masa depan agar Indonesia menjadi
negara berdaulat, berkarakter, dan sejahtera.
Namun pertanyaannya, dengan kemiskinan, pengangguran, dan lemahnya infrastruktur saat ini, termasuk “kebisingan demokrasi” di ruang representatif kekuasaan, indeks kesejahteraan tak mampu terbang tinggi.
Sementara, tesis ilmuan politik Durham University, David Held (1991), menyebutkan
bahwa demokrasi sulit berkembang dengan situasi material negara terpuruk miskin.
Ia mencontohkan Amerika Serikat, Botswana, Denmark, Kostarika, Jepang, dan Jamaika
bisa disebut negara demokrasi, tapi sistem politik, budaya politik, dan lingkungan sosial-
ekonomi mereka membedakan kualitas demokrasi satu sama lain. Negara dengan
jeratan pendapatan rendah jelas sulit mengembangkan demokrasi secara substansial
(Sorensen, 2008 : 21).