SITUASI politik nasional pascapengesahan UU Cipta Karya (UU CK) bisa dianalogikan seperti kisah dalam novel klasik karya sastrawan Nigeria, Chinua Achebe, Things Fall Apart (1958).
Novel poskolonial ini membicarakan tentang tubrukan kebudayaan, ketika sebuah
komunitas Ibo, kumpulan dari sembilan kampung di pedalaman Nigeria, mengalami
permasalahan dengan kolonialisasi Inggris dan kedatangan agama Kristen yang
membuat kepercayaan dan kebudayaan mereka tertekan dan berubah drastis.
Dalam kacamata Inggris dan misionaris, apa yang mereka berikan kepada masyarakat
pedalaman Afrika itu adalah berkah kemajuan dan modernisasi.
Peradaban Eropa mencoba menjauhi masyarakat dari tahayul, perang, dan kegelapan budaya primitif.
Akan tetapi masyarakat Ibo melihat apa yang dibawa orang asing itu adalah kiamat bagi
kepercayaan dan kebudayaan mereka yang teguh tergenggam ratusan tahun. Nilai-nilai
baru merusak ikatan sosio-kultural mereka.
Baca juga: Jokowi Utus Mensesneg Serahkan Naskah UU Cipta Kerja ke NU dan Muhammadiyah
Bagi Achebe, baik kaum misionaris dan orang kampung sama-sama bagai busur patah.
Mereka terseok dalam kecurigaan akibat kosongnya dialog. Akhirnya mereka harus
berperang, tak peduli lagi kerugian menyerta, demi nama baik dan identitas masing-
masing.
Omnibus Law sebagai keselamatan?
Ini pula yang dirasakan oleh buruh, mahasiswa, dan sebagian kalangan akademisi yang
sejak awal sudah menolak kehadiran omnibus law RUU Cipta Kerja.
Mereka menganggap kebaikan yang disodorkan pemerintah melalui RUU yang
menyaring lebih 70 undang-undang lain dengan 186 pasal itu palsu belaka.
Undang-undang itu dianggap badai la nina bagi nasib buruh. Pemerintah pun tak tergoyahkan, Jokowi meminta masyarakat yang tidak puas untuk melakukan judicial review (Kompas, 10/10/2020).
Baca juga: Beredar Lagi Versi Baru RUU Cipta Kerja, yang Mana Draf Finalnya?
Kisah tentang naskah rancangan undang-undang yang diajukan Presiden ini pun menjadi misteri hingga sepekan setelah disepakati DPR. Naskah final RUU tidak bisa terakses publik.
Ibarat thriller dalam cerpen Edgar Allan Poe, The Purloined Letter, publik sampai menunggu-nunggu manakah dari 905, 1.028, atau 1035 halaman yang merupakan naskah final.
Ternyata yang absah berjumlah 812 halaman! Meskipun Azis Syamsuddin, wakil ketua DPR RI, menyebutkan itu masalah ukuran kertas yang berbeda (Kompas.com, 13/10/2020), publik tak mudah legawa dan percaya.
Baca juga: Kemendikbud: 123 Mahasiswa Positif Covid-19 Setelah Demo UU Cipta Kerja
Uniknya, naskah final yang disetujui DPR itu pun masih memerlukan perbaikan. Pertanyaannya
untuk apa ketergesa-gesaan persetujuan DPR itu harus dilakukan?
Sikap bergerak cepat menunjukkan ada yang salah dengan undang-undang itu. Jika melihat beberapa RUU masih terbengkalai lama padahal telah diwacanakan ratusan hingga puluhan ribu jam seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan RUU Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), umur RUU Cipta Kerja diibaratkan sangat balita.