JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ( Komnas Perempuan) menilai adanya korban pemerkosaan yang menggugat Kapolri dan Kapolres Sikka, Nusa Tenggara Timur, adalah bukti diperlukannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ( RUU PKS).
Hal itu dikatakan oleh Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi kepada Kompas.com, Kamis (15/10/2020).
"Betul (sebagai bukti perlunya RUU PKS), untuk memberikan kepastian kepada korban," kata Aminah.
"Bahwa ketika korban mengklaim keadilannya melalui sistem peradilan pidana, korban akan terpenuhi keadilannya dan pemulihannya," lanjut dia.
Baca juga: Korban Pemerkosaan Gugat Kapolri dan Kapolres, Komnas Perempuan: Ini untuk Ingatkan Negara
Aminah mengatakan, penanganan kasus kekerasan seksual sering kali mandek karena kerja sama antara penegak hukum tidak terpadu dengan baik.
Ia menilai, jika penyidik dan penuntut umum bekerja dengan terpadu, maka tidak akan ada kasus kekerasan yang mangkrak.
"Termasuk dengan melibatkan pendamping korban untuk setiap tahapan pemeriksaan, agar korban dapat lebih terbantu dan mendapatkan pemulihan," ujarnya.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan sampai saat ini masih mendesak DPR untuk memasukan RUU PKS masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2021.
Baca juga: Kapolri dan Kapolres Digugat Korban Pemerkosaan, Polisi: Kami Sudah Gelar Kembali Kasus Ini
"Jadikan RUU PKS sebagai RUU Prioritas Prolegnas 2021 agar koordinasi antar institusi penagak hukum terintegrasi dengan lembaga layanan korban," ucap dia.
Diberitakan sebelumnya, dibantu 13 advokat, keluarga EDJ, siswi SMA di Sikka, menggugat Kapolri dan Kapolres Sikka ke PN Maumere.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan