JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengungkap sejumlah persoalan yang terjadi setiap kali pilkada digelar.
Problematika ini, kata Titi, cenderung berpengaruh pada hasil pilkada.
"Kita juga punya problematika berulang pilkada," kata Titi dalam diskusi daring, Kamis (15/10/2020).
Pertama, yakni daftar pemilih tetap (DPT) yang kerap bermasalah akurasinya.
Baca juga: Perketat Aturan Maju Pilkada demi Cegah Dinasti Politik
Titi mencontohkan, Pilkada Kabupaten Sampang 2018 bahkan harus diulang karena persoalan akurasi DPT.
Kedua, masih terjadi kecurangan atau manipulasi hasil pilkada. Kasus demikian pernah terjadi di Maluku dan Papua, yang berujung pada pemecatan penyelenggara pemilu.
Ketiga, penegakan hukum atas politik uang yang belum memberi efek jera.
Lalu, aparatur sipil negara atau birokrasi daerah yang berpihak yang berdampak pada kualitas pelayanan publik pra dan pasca-pilkada.
Baca juga: Saat Pemda Diduga Tak Jujur soal Testing Covid-19 demi Pilkada...
"Jadi keberpihakan atau politisasi atau mobilisasi politik ASN itu mempengaruhi pelayanan publik bukan hanya pasca-pilkada tetapi juga pernah dan saat pilkada," ujar Titi.
Persoalan lain, lanjut Titi, pilkada belum berbasis gagasan dan program sehingga lebih mengandalkan hal-hal yang bersifat artifisial atau yang simbolik.
Praktik mahar politik juga belum mampu dihilangkan. Padahal, praktik ini berpotensi melahirkan tindak korupsi calon kepala daerah yang terpilih.
Baca juga: Riset Nagara Institute: 124 Calon Kepala Daerah pada Pilkada 2020 Terkait Dinasti Politik
Selain itu, kata Titi, jumlah calon kepala daerah tunggal meningkat setiap tahun. Di Pilkada 2020, setidaknya sudah ada 25 calon tunggal.
"Padahal kalau kita tahu seharusnya pilkada itu kan betul betul merefleksikan representasi warga, tapi dengan adanya calon tunggal ada keterputusan dan hambatan di dalam mencapai tujuan di dalam konsep hasil," ucap Titi.
Dinasti politik juga masih terjadi pada pilkada. Padahal, fenomena ini berpotensi memperlemah partai dan melahirkan tindakan korup.
Persoalan terakhir, yakni hoaks dan disinformasi yang kian menguat. Fenomena ini, menurut Titi, menyebabkan keterbelahan masyarakat.
Baca juga: [HOAKS] Surat Minta Dana Pengamanan Pilkada Catut Gubernur Banten
"Sehingga kontrol kepada pemerintahan terpilih tidak berbasis program tidak berbasis kinerja tapi bersasis sentimen emosional," kata dia.
Diketahui, Pilkada Serentak 2020 digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Masa kampanye berlangsung selama 71 hari, dimulai sejak 26 September dan berakhir 5 Desember 2020.
Sementara, hari pemungutan suara pilkada rencananya akan dilaksanakan secara serentak pada 9 Desember.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.