Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/10/2020, 07:39 WIB
Devina Halim,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Polisi akhirnya membeberkan sejumlah bukti unggahan maupun percakapan yang menjerat sembilan tersangka terkait demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang berujung ricuh.

Sebagian besar dari para tersangka tersebut merupakan petinggi organisasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).

Kepala Divisi Humas Polri Irjen (Pol) Argo Yuwono menuturkan, unggahan para tersangka mengandung ujaran kebencian berdasarkan SARA atau hasutan atau hoaks hingga menyebabkan aksi berujung anarkis.

"Berkaitan dengan penyebaran dengan pola hoaks, mengakibatkan anarkis dan vandalisme, sehingga membuat petugas luka, barang-barang dinas rusak, gedung, dan fasilitas umum," kata Argo di Gedung Bareskrim, Jakarta Selatan, Kamis (15/10/2020).

Baca juga: Kapolri dan Kapolres Digugat Korban Pemerkosaan, Polisi: Kami Sudah Gelar Kembali Kasus Ini

"Semuanya membuat kepentingan umum terganggu," sambung dia.

Sebanyak empat tersangka ditangkap terkait aksi menolak UU Cipta Kerja yang berujung rusuh di Medan, Sumatera Utara, dengan inisial, KA, JG, NZ, dan WRP.

Adapun KA atau Khairi Amri merupakan Ketua KAMI Medan.

Kemudian, lima tersangka yang ditangkap di Jabodetabek terdiri dari, KA, DW, Anton Permana, Syahganda Nainggolan, dan Jumhur Hidayat. Ketiga nama terakhir merupakan petinggi KAMI.

Kasus di Medan

Argo menuturkan, para tersangka yang ditangkap terkait aksi di Medan tergabung dalam anggota grup aplikasi WhatsApp bernama "KAMI Medan".

Baca juga: Tahan Petinggi KAMI, Polri: Tak Ada Penangguhan

Berdasarkan keterangan polisi, Khairi Amri merupakan admin grup tersebut.

Khairi, kata Argo, mengunggah foto gedung DPR RI ke dalam grup disertai narasi negatif.

"Yang dimasukkan ke WAG ini ada foto kantor DPR RI dimasukkan di WAG, kemudian tulisannya, ‘Dijamin komplit, kantor, sarang maling dan setan’, ada di sana tulisannya," tutur Argo.

Tak hanya itu, tulisan Khairi lainnya di grup diduga berbunyi, 'Mengumpulkan saksi untuk melempari DPR dan melempari polisi' serta 'Kalian jangan takut dan jangan mundur'.

Khairi tak hanya menulis di grup. Argo mengklaim memiliki bukti Khairi beraksi di lapangan dengan peran memberi nasi bungkus serta arahan kepada peserta demonstrasi.

"Fotonya tidak saya bawa, jadi tersangka KA tadi sedang mengumpulkan massa, sambil bagi nasi bungkus, dia menyampaikan arahan," ucap dia.

Baca juga: Penjelasan Polri soal Penolakan terhadap Gatot Nurmantyo dkk Saat Ingin Jenguk Petinggi KAMI

Sementara, tersangka JG diduga menulis instruksi pembuatan skenario sebagaimana kerusuhan Mei 1998 untuk aksi di Medan.

Di grup tersebut, polisi mengatakan, JG menulis 'Buat skenario seperti 98', 'Penjarahan toko China dan rumah-rumahnya', 'Preman diikutkan untuk menjarah', serta 'Batu kena satu orang, bom molotov bisa kebakar 10 orang dan bensin bisa berjajaran'.

Sementara, di grup yang sama, tersangka WRP diduga menulis 'Besok wajib bawa bom molotov'.

Aparat kepolisian pun mengaku menemukan bom molotov saat aksi di Medan. Bom itu disebut telah membakar sebuah mobil.

Terakhir, untuk tersangka NZ, ia diduga menulis 'Medan cocoknya didaratin. Yakin pemerintah sendiri bakal perang sendiri sama China' di grup tersebut.

Baca juga: Ini Peran Petinggi KAMI Medan hingga Akhirnya Diciduk Aparat

Percakapan para tersangka itu pun dijadikan bukti oleh polisi. Selain itu, petugas juga menyita uang Rp 500.000 yang dikumpulkan melalui grup KAMI Medan.

"Dari WAG tadi, dia mengumpulkan uang untuk menyuplai logistik, baru terkumpul Rp 500.000," tutur Argo.

Akibat perbuatannya, keempat tersangka dijerat Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45A ayat 2 UU ITE dan Pasal 160 KUHP. Ancaman hukumannya 6 tahun penjara.

Tiga Petinggi KAMI

Berbeda dari kasus di Medan, para tersangka yang ditangkap di wilayah Jabodetabek dijerat kasus karena unggahan di media sosial.

Petinggi KAMI Jumhur Hidayat (JH) misalnya. Argo menuturkan, Jumhur diduga menyebar konten berisi ujaran kebencian di akun Twitter pribadinya.

Baca juga: Polri Ungkap Percakapan Para Tersangka di Grup WhatsApp “KAMI Medan”

"Dia (JH) menulis salah satunya, 'UU memang untuk primitif, investor dari RRC dan pengusaha rakus'. Ini ada di beberapa tweet-nya," ungkap Argo.

Sementara, petinggi KAMI lainnya, Anton Permana (AP), diduga menyebarkan konten negatif lewat Facebook serta Youtube.

Salah satu unggahan Anton menyinggung multifungsi Polri yang dinilai melebihi dwifungsi ABRI. Unggahan Anton lainnya ada yang terkait dengan UU Cipta Kerja.

"Juga ada 'Disahkan UU Ciptaker, bukti negara ini telah dijajah', kemudian juga 'Negara sudah tidak kuasa lindungi rakyatnya' dan 'Negara dikuasai oleh cukong VOC gaya baru'," ucap Argo.

Untuk petinggi KAMI, Syahganda Nainggolan (SN), ia diduga mengunggah konten negatif ke Twitter.

Baca juga: Hendak Jenguk Petinggi KAMI di Tahanan Bareskrim, Gatot Nurmantyo dkk Ditolak

Syahganda mengunggah foto dan disertai dengan narasi atau keterangan yang tidak sesuai. Motifnya, kata Argo, karena Syahganda ingin mendukung peserta aksi.

"Dia modusnya ada foto, kemudian dikasih tulisan, dikasi keterangan yang tidak sama kejadiannya. Ini contohnya, ini kejadian di Karawang tapi gambarnya berbeda," tutur dia.

Dalam kasus ini, Jumhur dan Anton terancam hukuman 10 tahun penjara, sementara Syahganda terancam dipidana penjara selama 6 tahun.

Dua tersangka lain

Masih ada dua tersangka lainnya yang termasuk dalam rangkaian penangkapan di Jabodetabek, dengan inisial DW dan KA.

Argo membeberkan, DW merupakan pemilik akun Twitter @podoradong. DW disebut memiliki empat akun dengan ribuan pengikut atau followers.

Baca juga: Polda Jabar Panggil Petinggi KAMI Terkait Polisi yang Disekap dan Dianiaya

Unggahan di Twitter tersebut dijadikan polisi sebagai bahan untuk memproses hukum DW.

"Dia (DW) juga menulis di sana bahwa ‘Bohong kalau urusan omnibus law bukan urusan Istana, tapi sebuah kesepakatan’ dan sebagainya. Ada beberapa yang sudah kita jadikan barang bukti," beber Argo.

Terakhir, tersangka KA diduga menyebarkan berita bohong atau hoaks terkait UU Cipta Kerja di akun Facebook miliknya.

Dari hasil pemeriksaan sementara, polisi menyebut motif KA adalah mendukung penolakan terhadap UU Cipta Kerja.

"Berkaitan dengan butir-butir yang beredar, butir-butir yang tidak benar dari pasal-pasal yang beredar di medsos. Dia nulisnya 13 butir di UU Cipta Kerja yang semuanya bertentangan," kata dia.

Baca juga: Penangkapan Para Petinggi KAMI...

Untuk kasus tersebut, DW dan KA terancam hukuman 6 tahun penjara.

Kini, para tersangka mendekam di Rutan Salemba cabang Bareskrim Polri.

Argo menegaskan, pihaknya tidak akan menangguhkan penahanan kesembilan tersangka.

"Sesuai dengan petunjuk pimpinan, semuanya proses dan tidak ada penangguhan (penahanan)," ucap mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya tersebut.

Bareskrim masih melakukan proses penyidikan lebih lanjut dalam kasus ini. Tak menutup kemungkinan, ada tersangka lain yang akan ditetapkan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com