Kunjungan Prabowo kali ini tak luput dari sorotan tajam sejumlah organisasi non-pemerintah yang memberi perhatian terhadap hak asasi manusia (HAM).
Baca juga: Prabowo Bahas Kerja Sama Pertahanan dengan Sejumlah Pejabat AS
Sorotan itu berkaitan dengan keputusan Departemen Luar Negeri AS yang mengeluarkan visa setelah lebih dari dua dekade Prabowo masuk daftar hitam Pemerintah AS atas dugaan pelanggaran HAM masa lalu.
Organisasi itu antara lain Imparsial, Amnesty Internasional Indonesia, serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Amnesty International dan enam organisasi HAM lainnya bahkan mendesak Pemerintah AS untuk membatalkan kunjungan Prabowo.
Desakan itu dituangkan melalui surat yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, Selasa (13/10/2020), yang meminta supaya Pemerintah AS segera mencabut visa dan membatalkan kunjungan Prabowo ke negara tersebut.
"Kami menulis surat ini untuk menyampaikan kekhawatiran kami terhadap keputusan Departemen Luar Negeri AS yang memberikan visa kepada Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan Republik Indonesia, untuk datang ke Washington DC menemui Menteri Pertahanan Mark Esper dan Ketua Kepala Gabungan Staf AS Mark Milley pada tanggal 15 Oktober," ujar Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti dikutip dari surat yang dikirimkan ke Menlu AS, Kamis (15/10/2020).
Baca juga: Pegiat HAM Minta AS Batalkan Kunjungan Prabowo, Jubir Menhan: Silakan Saja
Dalam surat itu, Fatia menjelaskan, Prabowo merupakan seorang mantan jenderal Indonesia yang sudah dilarang untuk memasuki AS sejak 2000 karena tuduhan keterlibatannya secara langsung dalam pelanggaran HAM.
Saat bertugas sebagai Komandan Pasukan Khusus (Kopassus), Prabowo diduga terlibat dalam kejahatan HAM berupa penculikan aktivis pro-demokrasi selama beberapa bulan menjelang berakhirnya pemerintahan Soeharto pada 1998.
Penyelidikan independen resmi menyimpulkan Prabowo saat menjadi Komadan Kopassus sadar akan pelanggaran tersebut dan bertanggung jawab secara penuh atas penculikan aktivis pro-demokrasi pada periode 1997-1998.
Namun, tuduhan terhadap Prabowo tidak pernah diadili di pengadilan.
Fatia mengatakan, keputusan Departemen Luar Negeri AS mencabut larangan masuk terhadap Prabowo bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS selama 20 tahun terakhir.
Menurut dia, undangan untuk Prabowo seharusnya dibatalkan karena dapat melanggar Hukum Leahy dan akan menjadi bencana bagi HAM di Indonesia.
Baca juga: Pemerintah AS Diminta Cabut Visa Kunjungan Prabowo Subianto
Di samping itu, kata Fatia, berdasarkan Konvensi Menentang Penyiksaan Pasal 5 Ayat 2, Pemerintah AS memiliki kewajiban membawa Prabowo ke pengadilan jika mendapatkan bukti dalam penyelidikannya.
Selain menyeret ke pengadilan, Pemerintah AS juga bisa mengekstradisi ke negara lain yang bersedia menggunakan yurisdiksinya terhadap tuduhan kejahatan Prabowo.
"Kami mendesak Anda untuk mengklarifikasi bahwa visa yang diberikan kepada Prabowo Subianto tidak memberikan kekebalan dalam bentuk apa pun dan memastikan jika dia datang ke Amerika Serikat, dia akan secepatnya diperiksa dengan benar," tambah dia.