JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti berpendapat, penyusunan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tidak cukup diselesaikan dalam 9 bulan.
Ia membandingkan penyusunan RUU Cipta Kerja dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). RUU PKS belum juga tuntas kendati telah dibahas selama 4 tahun, bahkan ditarik dari program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas.
"RUU penghapusan kekerasan seksual itu 4 tahun dibahasnya kemudian sekarang dikeluarkan pula dari prioritas tahunan tahun ini. Ini (RUU Cipta Kerja) 9 bulan mau diklaim sudah partisipatif sekali, tunggu dulu," kata Bivitri dalam acara diskusi bertajuk UU Cipta Kerja vs Pemberantasan Korupsi, Kamis (15/10/2020).
Baca juga: Pelemahan KPK hingga UU Cipta Kerja, Faisal Basri: Upaya Sistematik Rezim
Bivitri menjelaskan, penyusunan undang-undang melalui metode omnibus seperti RUU Cipta Kerja semestinya memakan waktu yang lama.
Pasalnya, penyusunan RUU Cipta Kerja perlu melibatkan banyak pemangku kepentingan karena banyaknya ketentuan undang-undang yang diubah.
Sebagai contoh, RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan dalam 79 undang-undang yang mencakup isu-isu ketenagakerjaan, lingkungan hidup, hingga kemudahan berusaha.
Oleh karena itu, Bivitri mengatakan, seharusnya Pemerintah dan DPR tidak hanya mengundang kelompok buruh dalam pembahasan, melainkan juga kelompok lain yang terdampak seperti nelayan dan masyarakat adat.
"Pembuat maupun perumus undang-undang kalau hanya di balik meja, tidak berbicara dengan orang yang terkena dampak, akan luput untuk melihat potensi dampak yang bisa ditimbulkan secara riil di lapangan oleh sebuah undang-undang," ujar Bivitri.
Baca juga: Tolak UU Cipta Kerja, Buruh Tolak Terlibat Bahas Aturan Turunannya
Selain itu, penyusunan undang-undang melalui metode omnibus juga merupakan sesuatu yang baru dipraktikkan di Indonesia, sehingga sempat menimbulkan kebingungan, termasuk di kalangan legislatif sendiri.
Menurut Bivitri, hal tersebut semestinya dapat menjadi pertimbangan DPR agar tidak terburu-buru mengesahkan RUU Cipta Kerja yang ramai ditolak publik melalui aksi unjuk rasa di sejumlah daerah.
"Dengan segala kebingungan, kegamangan karena kebaruannya dan kegemukan dari satu RUU ini, tidak sepatutnya dibahas sangat terburu-terburu apalagi dalam situasi pandemi ini," kata Bivitri.