Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengesahan UU Cipta Kerja Munculkan Gelombang Disinformasi

Kompas.com - 14/10/2020, 13:19 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komunikasi publik pemerintah dan DPR harus diperbaiki terutama dalam hal penyusunan produk legislasi maupun kebijakan publik lainnya. Berkaca pada proses penyusunan, pembahasan hingga pengesahan RUU Cipta Kerja yang terkesan kurang terbuka, justru memunculkan banyak disinformasi di tengah masyarakat.

Akibatnya, gejolak tak dapat dihindari. Masyarakat pun meluapkan aspirasi mereka dengan turun ke jalan di tengah situasi pandemi Covid-19 yang menuntut penerapan protokol kesehatan yang ketat untuk mencegah penularan virus corona.

"Pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR telah menimbulkan dinamika, polemik, bahkan gelombang disinformasi di masyarakat," kata Ketua Komisi Informasi Pusat Gede Narayana dalam keterangan tertulis, Selasa (13/10/2020), seperti dilansir dari Antara.

Baca juga: Menko PMK: UU Cipta Kerja Pendekatan untuk Merevolusi Mental

Ia pun memberikan tujuh masukan terhadap proses legislasi yang terkesan kurang transparan atas UU tersebut.

Pertama, pemerintah dan DPR seharusnya dapat membuka akses informasi publik secara luas untuk memastikan transparansi, partisipasi dan peran aktif masyarakat terjamin guna mewujudkan akuntabilitas proses dan produk legislasi.

Kedua, DPR seharusnya membuka dan mempermudah akses informasi publik dengan menambah akses di luar yang sudah tersedia untuk mengoptimalkan hak publik atas informasi terhadap proses penyusunan, pembahasan dan pengesahan draf UU Cipta Kerja.

Selanjutnya, Presiden Joko Widodo didorong membuka ruang partisipasi masyarakat setelah pengesahan UU Cipta Kerja di DPR dengan membuka dan mempermudah akses masukan dari masyarakat pada kanal-kanal layanan informasi publik yang tersedia.

Baca juga: Demo, Perppu, atau Judicial Review untuk Sikapi UU Cipta Kerja?

Keempat, pemerintah wajib menyosialisasikan draf final UU Cipta Kerja secara benar, tepat dan tidak menyesatkan melalui kanal layanan maupun saluran informasi yang tersedia.

Berikutnya, mengimbau masyarakat untuk mengakses informasi dari sumber-sumber resmi yang kredibel dan akurat dalam mendapatkan informasi terkait UU Cipta Kerja.

Keenam, masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi dan kritik terhadap UU tersebut diharapkan menyampaikan secara bertanggungjawab melalalui akses publik yang tersedia.

Terakhir, ruang partisipasi publik masih tetap terbuka dan tidak tertutup setelah disahkannya UU Cipta Kerja baik melalui proses legal konstitusi maupun perbaikan kebijakan publik.Baca juga: Catat Pelajar dalam SKCK karena Demo UU Cipta Kerja, Polisi Harus Hati-hati

Masalah serius

Pengajar komunikasi politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto menilai, ada masalah serius di dalam komunikasi publik yang dilakukan DPR dan pemerintah. Tak hanya di dalam pembahasan RUU Cipta Kerja pada saat ini, tetapi juga pada saat revisi UU KPK tahun lalu.

Buruknya komunikasi publik yang terjadi justru hanya akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

"Paling tidak, kalau akses publik dibuka secara baik sejak awal, akan menghindari menguatnya prasangka negatif soal ketidaktransparanan perumusan dan pengesahan RUU Cipta Kerja. Hak untuk tahu masyarakat terpenuhi dan tidak terombang-ambing oleh hoaks,” kata Gun Gun seperti dilansir dari Kompas.id.

Baca juga: 4 Relawan Medis Muhammadiyah Dianiaya Polisi saat Bertugas di Demo UU Cipta Kerja

Massa aksi demo penolakan pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja dan pihak kepolisian terlibat bentrok saat melakukan orasi di halaman gedung DPRD Provinsi Sumatera Selatan, Kamis (8/9/2020).KOMPAS.com/Aji YK Putra Massa aksi demo penolakan pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja dan pihak kepolisian terlibat bentrok saat melakukan orasi di halaman gedung DPRD Provinsi Sumatera Selatan, Kamis (8/9/2020).

Saat ketidakpercayaan publik menguat, ia menambahkan, tak heran jika kemudian masyarakat mengekspresikan penolakannya seperti dengan melakukan unjuk rasa.

”Sehingga saya melihat ada paradoks komunikasi dengan munculnya beragam hoaks. Salah satu penyebabnya adalah pada bagian-bagian yang harus cepat ditangani, seperti soal draf UU Cipta Kerja yang hampir semingguan menjadi polemik, menurut saya ini tidak produktif dari sisi komunikasi kebijakan,” imbuh dia.

Sementara itu, pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menilai, partisipasi publik yang minim di dalam pembahasan RUU Cipta Kerja merupakan salah satu bentuk cacat formal RUU tersebut.

Terlebih, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah mengamanatkan partisipasi publik di dalam proses legislasi.

Baca juga: Alasan di Balik Susutnya Halaman Draf Final UU Cipta Kerja

Memang, sejumlah serikat pekerja telah diundang untuk membahas RUU ini. Tetapi, RUU Cipta Kerja tak hanya mengatur tentang klaster ketenagakerjaan semata.

”Jadi, stakeholders terkait RUU Cipta Kerja ini bukan cuma serikat pekerja, tetapi mulai dari nelayan, masyarakat adat, peternak, hingga notaris. Kalau dicek, akan terlihat betapa terbatasnya partisipasi publik dibandingkan cakupan isu yang diatur oleh RUU Cipta Kerja ini,” kata Bivitri

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Nasional
MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Nasional
Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Nasional
Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Nasional
FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

Nasional
Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Nasional
Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Nasional
Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Nasional
Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Nasional
Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Nasional
MK Bantah Ada Bocoran Putusan Sengketa Pilpres

MK Bantah Ada Bocoran Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com