JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-Undang Mahkamah Konstitusi hasil revisi ketiga baru disahkan DPR pada September 2020. UU Nomor 7 Tahun 2020 itu kini digugat ke MK.
Penggugatnya yakni dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia bernama Allan Fatchan Gani. Ia mengajukan gugatan uji formil sekaligus materil terkait undang-undang itu.
Dari segi formil, pemohon menilai bahwa proses revisi UU MK bertentangan dengan tata cara pembentukan undang-undang yang diatur Pasal 22A UUD 1945.
Baca juga: Polemik Penghapusan Ayat dalam Pasal 59 UU MK, Ini Penjelasan Anggota Komisi III DPR
Sebab, UU MK direvisi tanpa partisipasi publik serta proses pembahasannya tertutup dengan waktu yang sangat terbatas.
"Naskah akademik perubahan UU MK dibentuk tanpa alasan akademik yang fundamental. Hal tersebut tergambar dari adanya kesalahan metodologi penelitian, tidak ditopang data yang akurat serta beberapa kajian naskah akademik yang disyaratkan oleh UUP3 (Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) tidak disertakan," tulis pemohon dalam berkas permohonannya yang diunggah di laman resmi MK RI.
Dari segi materil, ada sejumlah ketentuan yang dipersoalkan pemohon. Pertama, ketentuan mengenai syarat usia minimal hakim konstitusi yang dimuat dalam Pasal 15 Ayat (2) huruf d UU 7/2020.
Dalam UU MK hasil revisi, syarat usia minimal hakim dinaikkan menjadi 55 tahun. Padahal, menurut Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013, syarat usia minimal hakim konstitusi yakni 47 tahun.
Menurut pemohon, pada usia 55 tahun seseorang mengalami penurunan kapasitas kerja dan fisik yang lebih besar daripada usia 47 tahun, sehingga dapat menyebabkan problem kelembagaan seperti lambatnya penyelesaian perkara di MK.
Ketentuan tersebut juga dinilai menutup kesempatan bagi warga negara yang belum berusia 55 tahun untuk menjadi hakim MK.
"Padahal dimungkinkan warga negara tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagai hakim konstitusi yakni memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan," kata pemohon.
Baca juga: Revisi UU MK Hapus Ketentuan Tindak Lanjut Putusan, Begini Kata Pakar Hukum
Pemohon juga menyoal penghapusan masa jabatan hakim konstitusi.
Semula, masa jabatan hakim MK berlaku selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali masa jabatan. Dalam UU MK hasil revisi ketentuan tersebut dihapus.
Hakim konstitusi dapat menjabat maksimal hingga usia 70 tahun. Dengan demikian, masa jabatan hakim MK paling lama adalah 15 tahun.
Menurut pemohon, dihapusnya ketentuan mengenai masa jabatan hakim MK telah menghilangkan fungsi pengawasan dan evaluasi terhadap hakim, lantaran prosedur uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) pada masa jeda jabatan menjadi hilang.
Pemohon juga menilai, masa jabatan selama 15 tahun terlalu lama sehingga berpotensi menyebabkan penyalahgunaan jabatan.