HARI ini, Rabu (14/10/2020) DPR RI akan menyerahkan draft Undang-Undang Cipta Kerja ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Meski sudah final dan akan diserahkan, regulasi yang diniatkan untuk membuka keran investasi ini masih terus menuai penolakan.
Tak hanya aksi demonstrasi, penolakan juga disuarakan para pakar dan akademisi. Sejumlah pakar menyatakan, UU Ciptaker cacat secara prosedural. Secara formil atau tata cara penyusunan, UU ini sulit diterima akal sehat.
Model Omnibus Law sebagai pilihan caranya juga belum dikenal dalam sistem pembentukan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, metode ini membuat publik lebih sulit memahami apa yang sebenarnya diatur dalam UU ini.
Dalam penyusunannya, UU ini juga tidak mengikuti prosedur. Perencanaan dan pembahasan UU ini sangat tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik.
Padahal, merujuk Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 dalam tahap perencanaan dan penyusunan sebuah UU diperlukan pelibatan dan partisipasi publik yang luas dan beragam dari berbagai latar belakang, khususnya pemangku kepentingan dan kelompok yang akan terdampak aturan tersebut.
Seharusnya, dalam tahap perencanaan dan penyusunan, Naskah Akademik (NA) dan Draf RUU Ciptaker sudah harus dipublikasikan dan didiskusikan guna menyerap aspirasi publik.
Namun, UU Ciptaker tak melalui pelibatan publik yang luas dalam proses ini dan hanya melibatkan segelintir pihak. Hal ini diperparah dengan beredarnya sejumlah draf yang diragukan keasliannya.
UU Ciptaker dianggap bermasalah sejak penyusunan dan pembentukan hingga proses pembahasan dan pengesahan. UU ini dinilai cacat secara etik dan moral.
Pasalnya, lahirnya UU ini lebih mengedepankan kemauan dan kepentingan penguasa dan pengusaha. UU ini lebih mengutamakan logika ekonomi dan investasi.
UU ini juga dinilai cacat sosial karena bertentangan dengan aspirasi publik. UU ini dinilai tidak legitimate karena melahirkan ketidakpercayaan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan maraknya aksi penolakan mulai dari pekerja hingga mahasiswa.
Secara materiil dan formil UU ini juga dinilai bertentangan dengan konstitusi. UU Ciptaker memuat banyak pasal-pasal yang bermasalah termasuk menghidupkan kembali aturan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Pengesahan UU ini juga menuai kritikan karena ternyata anggota dewan tak mengetahui dan memiliki draft final UU yang disahkan tersebut.
Sejumlah anggota dewan mengakui, mereka tak memegang naskah lengkap RUU Ciptaker saat beleid tersebut disahkan di Sidang Paripurna. Hal ini menunjukkan para anggota DPR sejatinya tidak tahu apa yang mereka sahkan.
Draft UU Ciptaker ini ternyata belum final dan masih dalam proses penyempurnaan. Padahal, draft yang pekan lalu masih berupa rancangan undang-undang atau RUU tersebut telah disahkan dalam rapat paripurna.
Badan Legislasi (Baleg) berdalih, penambahan atau perubahan pasal dalam UU Ciptaker tidak cacat prosedur atau formil. Karena, perubahan hanya merujuk pada kesepakatan Panitia Kerja (Panja) dalam pembahasan tingkat 1 UU Ciptaker.
Karena yang dilakukan bukan perubahan namun hanya pemindahan pasal. Sementara subtansi dari UU tersebut tetap sama dengan yang disahkan saat paripurna DPR.
Dari aspek formil, UU Ciptaker dinilai tak memenuhi syarat UU sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Artinya, ada peluang UU ini akan dibatalkan jika diuji di MK. Karena, pasal 24C UUD 1945 menyatakan MK bisa menguji dan menafsirkan sebuah UU dari aspek formil.
Dalam ilmu perundang-undangan secara teori dan praktik jika suatu UU dinyatakan oleh MK secara formil pembuatannya melanggar konstitusi, maka UU ini batal demi hukum.
Apa benar UU Ciptaker cacat prosedur? Bagaimana posisi UU Ciptaker jika dinyatakan cacat dalam proses perencanan, pembahasan dan pengesahannya?
Apakah UU yang dinilai cacat bisa dijudicial review ke MK? Apakah MK bisa membatalkan UU Ciptaker jika prosesnya dinilai melanggar prosedur dan aturan?
Saksikan pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (14/10/2020), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.