JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono meminta publik tak menciptakan narasi yang bersifat asumtif mengenai pengujian undang-undang di MK.
Fajar menegaskan bahwa putusan MK atas pengujian undang-undang bersifat final dan mengikat.
Hal ini ia sampaikan merespons munculnya pendapat yang menyebut bahwa dihapusnya Pasal 59 Ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK menyebabkan putusan MK tak lagi wajib ditindaklanjuti presiden dan DPR.
Baca juga: Revisi UU MK Hapus Ketentuan Tindak Lanjut Putusan, Begini Kata Pakar Hukum
"Tidak perlu menciptakan narasi-narasi yang bersifat asumtif," kata Fajar kepada Kompas.com, Selasa (12/10/2020).
Pasal 59 Ayat (2) semula tercantum dalam UU MK sebelum revisi atau UU Nomor 8 Tahun 2011. Pasal itu berbunyi, "Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan."
Ketentuan dalam Pasal 59 Ayat (2) itu dihapus dalam UU MK hasil revisi atau UU Nomor 7 Tahun 2020 yang disahkan DPR pada Selasa (1/9/2020) lalu.
Baca juga: DPR Persilakan Pihak yang Keberatan pada UU Cipta Kerja Gugat ke MK
Menurut Fajar, dihapusnya Pasal 59 Ayat (2) merupakan tindak lanjut pembentuk undang-undang atas Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011.
Putusan itu berisi tentang hasil pengujian MK terhadap UU Nomor 8 Tahun 2011. Pengujian UU tersebut dimohonkan pada tahun 2011 oleh sejumlah tokoh hukum seperti Saldi Isra, Arief Hidayat, Zainal Arifin Mochtar, hingga Feri Amsari.
Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa Pasal 59 Ayat (2) dalam UU MK Nomor 8 Tahun 2011 adalah inkonstitusional.
Oleh karenanya, dalam revisi UU MK terakhir atau UU Nomor 7 Tahun 2020, pasal tersebut dihilangkan.
Baca juga: MK: Pengujian UU Bukan Semata-mata untuk Menang
Fajar mengatakan, sebagaimana pertimbangan Majelis Hakim MK, Pasal 59 Ayat (2) dinyatakan inkonstitusional karena dinilai mereduksi makna final dan mengikat putusan MK.
Keberadaan frasa "jika diperlukan" dalam pasal tersebut dinilai berpotensi menimbulkan ketidakpastian, lantaran dapat memunculkan pemaknaan bahwa ada putusan MK yang perlu, ada pula yang tidak perlu.
"Padahal, semua putusan MK, terutama yang memuat legal policy baru, wajib untuk ditindaklanjuti oleh adressat (alamat) putusan, termasuk pembentuk UU," terang Fajar.
Oleh karenanya, Fajar menegaskan, penghapusan Pasal 59 Ayat (2) dalam UU MK hasil revisi telah sesuai dengan putusan MK.
Baca juga: MK Pastikan Putusannya Tetap Wajib Ditindaklanjuti Presiden dan DPR
Penghapusan pasal tersebut, kata dia, sama sekali tak mengubah sifat putusan MK yang final dan mengikat.
"(Pasal 59 Ayat 2) sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK sejak 2011, sekarang norma itu dihapus oleh pembentuk UU sebagau tindaklanjut putusan MK. Apa ada masalah? Nggak ada," ucap Fajar.
"UUD 1945 tegas menyatakan demikian, MK itu peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat mengikat," tuturnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.