Perubahan signifikan juga terjadi pada Pasal 88A yang mengatur tentang hak upah. Di dalam dokumen 905 halaman, hanya ada lima ayat. Sedangkan, dua dokumen lainnya jumlah ayat yang dicantumkan ada delapan ayat.
Ketiga ayat itu berbunyi :
(6) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya menyebabkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan presentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
(7) Pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(8) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh dalam pembayaran upah.
Baca juga: Demo Tolak UU Cipta Kerja Rusuh Lagi, Jokowi Ada di Istana Negara
Sementara itu, terkait rencana pengembalian ketentuan pemutusan hubungan kerja (PHK) sesuai dengan Pasal 154 UU Ketenagakerjaan, diketahui belum diatur di dalam ketiga dokumen yang beredar. Pada dokumen itu masih tertulis bahwa "Ketentuan Pasal 154 dihapus."
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, DPR seharusnya tidak menutup-nutupi isi dokumen UU Cipta Kerja. Terlebih, dokumen tersebut telah disahkan.
Adanya sejumlah kejanggalan, mulai dari pembahasan yang terkesan ditutup-tutupi, perbedaan halaman pada naskah yang beredar, hingga substani pasal yang berubah hanya semakin memperkuat kecurigaan publik terhadap DPR.
Baca juga: Draf Final UU Cipta Kerja Berubah-ubah, Pengamat: Undang-undang Diperlakukan Secara Tak Sakral
"Hampir bisa dipastikan naskah final yang akan diserahkan DPR ke Presiden memang memuat sejumlah norma baru yang mungkin tak ada di naskah versi paripurna atau bahkan belum sempat dibahas di rapat panja," kata Lucius kepada Kompas.com, Rabu (14/10/2020).
Ia menduga, DPR sengaja menerapkan strategi itu untuk menghindari kegaduhan publik jika perubahan substansi dapat diakses secara terbuka. Langkah tersebut juga untuk memastikan agar seluruh proses prosedural yang diperlukan agar beleid tersebut diundangkan telah rampung setelah Presiden menandatanganinya.
"Maka salah satu cara adalah membiarkan publik terkecoh dengan beragam versi tanpa punya kepastian akan naskah yang resmi sehingga memuluskan naskah hasil utak-atik final DPR disodorkan ke Presiden untuk ditandatangani," ucapnya.
Baca juga: Polisi Cari Dalang Penggerak Pelajar di Kota Tangerang Ikuti Aksi Tolak UU Cipta Kerja
Strategi ini, imbuh Lucius, merupakan langkah aman untuk memastikan respon publik selanjutnya yang akan dilakukan melalui judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, permohonan uji meteri baru dapat dilaksanakan setelah pengundangan selesai bisa dilakukan.
Pada saat yang sama, DPR dan pemerintah dinilai memiliki alasan untuk meminta masyarakat tak melakukan aksi massa, tetapi mengajukan gugatan ke MK jika ada pasal di dalam UU baru yang dinilai kurang memuaskan.
"Keinginan untuk mendorong publik menggunakan jalur JR sudah sejak awal menjadi senjata DPR dan Pemerintah dalam merespons penolakan publik," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.