JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono, memastikan bahwa dihapusnya Pasal 59 Ayat (2) Undang-Undang MK Nomor 7 Tahun 2020 tak berpengaruh pada sifat putusan MK yang final dan mengikat.
Meski ketentuan tersebut dihapus, kata Fajar, DPR dan Presiden tetap wajib menindaklanjuti putusan MK.
"UUD 1945 tegas menyatakan demikian, MK itu peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat mengikat," kata Fajar kepada Kompas.com, Selasa (13/10/2020).
Baca juga: Revisi UU MK Hapus Ketentuan Tindak Lanjut Putusan, Begini Kata Pakar Hukum
Adapun Pasal 59 Ayat (2) tercantum dalam UU MK sebelum revisi atau UU Nomor 8 Tahun 2011.
Pasal tersebut berbunyi: "Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan."
Ketentuan dalam Pasal 59 Ayat (2) itu dihapus dalam UU MK hasil revisi atau UU Nomor 7 Tahun 2020 yang disahkan DPR pada Selasa (1/9/2020) lalu.
Menurut Fajar, dihapusnya Pasal 59 Ayat (2) ini merupakan tindak lanjut pembentuk undang-undang atas Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011.
Putusan itu berisi tentang hasil pengujian MK terhadap UU Nomor 8 Tahun 2011. Pengujian itu dimohonkan pada tahun 2011 oleh sejumlah tokoh hukum seperti Saldi Isra, Arief Hidayat, Zainal Arifin Mochtar, hingga Feri Amsari.
Baca juga: MK: Pengujian UU Bukan Semata-mata untuk Menang
Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa Pasal 59 Ayat (2) dalam UU MK Nomor 8 Tahun 2011 adalah inkonstitusional.
Oleh karenanya, dalam revisi UU MK terakhir atau UU Nomor 7 Tahun 2020, pasal tersebut dihilangkan.
Fajar mengatakan, pertimbangan Majelis Hakim MK menyatakan Pasal 59 Ayat (2) inkonstitusional kala itu adalah karena dinilai mereduksi makna final dan mengikat putusan MK.
Keberadaan frasa "jika diperlukan" dalam pasal tersebut justru bisa menimbulkan ketidakpastian, lantaran akan memunculkan pemaknaan bahwa ada putusan MK yang perlu, ada pula yang tidak perlu.
"Padahal, semua putusan MK, terutama yang memuat legal policy baru, wajib untuk ditindaklanjuti oleh adressat (alamat) putusan, termasuk pembentuk UU," kata Fajar.
Baca juga: Bisakah UU Cipta Kerja Digugat Saat Belum Ada Nomor? Ini Kata MK
Oleh karenanya, Fajar menegaskan, tak ada persoalan yang timbul dari dihapusnya pasal tersebut. Putusan MK, kata dia, tetap bersifat final dan mengikat.
"Tidak perlu menciptakan narasi-narasi yang bersifat asumtif," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.