Hal ini berbeda saat demonstrasi 1998 silam, tokoh politik rutin berorasi, konsolidasi, hingga memimpin jalannya aksi. Dengan keadaan saat ini, demo UU Cipta Kerja agaknya jauh jika disebut aksi tersebut didasari nafsu politik, atau adanya "titipan" maupun bohir yang membiayai seluruh gerakan dalam aksi.
Kecuali, jika tiba-tiba muncul LSM, ormas yang terafiliasi atau politisi yang mengklaim atau ikut menekan secara massif.
Sejauh ini, tidak tampak politisi yang mengklaim aksi tersebut, hanya kalangan civil society, pemuka agama, hingga pengamat yang menyuarakan perlunya UU Cipta Kerja itu ditolak. Apakah mereka yang disebut auktor intelektualis?
Baca juga: Pengakuan Mahasiswa UGM: Saya Beberapa Kali Dipukul sampai Gagang Kacamata Patah
Pemahaman penulis, seorang dapat dikatakan auktor intelektualis jika memiliki pengaruh besar untuk menggerakkan massa hingga membiayainya. Karena, tidak sembarang orang dapat mendorong aksi sedemikian besar. Hingga kini penulis belum melihat hal tersebut.
Perlu dipahami lagi, mahasiswa adalah pressure group dan agent of change. Mereka biasanya tergerak jika ada kontroversi yang dibuat pemerintah, mereka pengawal sistem, benteng demokrasi.
Kelompok ini melihat persoalan dengan kacamata, apakah berdampak baik ke rakyat secara luas atau tidak. Dan perlu diingat, mereka adalah kelompok terpelajar.
Akan tetapi, yang juga perlu dicatat, dalam manajemen aksi ada dua hal yang menjadi agendanya. Pertama, jika aksi hanya dilakukan sekali atau dua kali, bisa dipastikan itu hanya tes ombak.
Baca juga: PBNU: Kebijakan Pemerintah Harus Berorientasi pada Kemaslahatan Rakyat
Biasanya model seperti ini karena ada "titipan" untuk aksi, bisa dilihat jika tiba-tiba ada demo di depan Gedung KPK ketika ada pejabat yang terjerat, lalu datang massa aksi yang mendukungnya. Seperti itulah.
Kedua, aksi mengkritisi pemerintah untuk segera mengubah kebijakan. Manajemen aksi seperti ini biasanya digelar bukan sekali atau dua kali, bisa berkali-kali.
Coba kita lihat perbedaan demonstrasi 1998 atau beberapa tahun sesudahnya, demonstrasi digelar hampir setiap hari. Fokusnya saat itu adalah menggulingkan pemerintahan hingga mengawal reformasi.
Demonstrasi terkait isu besar dan kasus korupsi pejabat publik atau tokoh juga dilakukan berkali-kali, sebagai pengingat dan mengawal kasus tersebut supaya publik tetap ingat.
Baca juga: Larang Mahasiswa Demo UU Cipta Kerja, Kemendikbud Dianggap Pasung Kemerdekaan Kampus
Pemerintah harus bertanggung jawab dengan pernyataan adanya auktor intelektualis dalam demo tersebut. Apalagi, demo tersebut berujung kericuhan yang jelas menimbulkan kerugian baik fisik maupun infrastruktur.
Auktor intelektualis tersebut, jika terbukti dan dipidana, bisa saja terjerat Pasal 160 soal penghasutan atau bahkan Pasal 104 soal makar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Thus, jika memang ada auktor intelektualis, silakan proses hukum secara terbuka dan beritahu publik. Jangan biarkan kecurigaan muncul di masyarakat. Harus diungkap siapa di balik demo tersebut, apakah murni karena kegelisahan masyarakat atau memang "titipan".
Pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, menurut Dahlan Iskan, adalah pemerintah terkuat sejak era reformasi. Buat apa takut mengungkap. Atau jangan-jangan, auktor intelektualis itu hanya sebatas hantu yang digunakan untuk menakuti masyarakat?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.