Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diusulkan Komutasi, agar Terpidana Mati Tak Menunggu Puluhan Tahun untuk Dieksekusi

Kompas.com - 09/10/2020, 09:22 WIB
Ardito Ramadhan,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Lamanya waktu tunggu terpidana mati dalam menanti waktu eksekusi dinilai mengandung masalah kemanusiaan.

Pembuat regulasi pun didorong untuk merubah hukum agar terpidana mati tidak lagi terlalu lama mendekam di penjara.

Kepala Balitbang Sri Puguh Budi Utami mengatakan, lamanya menunggu waktu eksekusi mati berpengaruh buruk bagi psikis dan mental para terpidana mati.

"Banyak sekali mereka yang saat ini dijatuhi pidana mati beberapa kali melukai dirinya, mungkin sudah tekanan psikologis yang sangat luar biasa," kata Puguh dalam webinar yang disiarkan akun Youtube ICJRID, Kamis (8/10/2020).

Baca juga: 538 Terpidana Mati Tengah Tunggu Eksekusi, Empat di Antaranya Sudah Menunggu Lebih dari 20 Tahun

Puguh yang pernah menjadi Dirjen Pemasyarakatan itu menilai, lamanya waktu menunggu hukuman mati membuat hukuman mati dan hukuman seumur hidup seakan tak ada bedanya.

"Pidana mati itu kan pidana sampai mati, biarkanlah saja saya di lapas di sini sampai mati, kan sampai mati juga," kata Puguh menirukan ucapan terpidana mati.

Ia mengungkapkan, saat ini ada 538 terpidana mati yang tengah mendekam di lembaga pemasyarakatan untuk menunggu waktu eksekusi.

Puguh menuturkan, dari 538 terpidana tersebut, 4 orang di antaranya tengah menunggu waktu eksekusi selama lebih dari 20 tahun.

Selanjutnya, menunggu waktu eksekusi selama 16-20 tahun sebanyak 16 orang, 11-15 tahun (37 orang), 6-10 tahun (97 orang), dan 8 bulan-5 tahun (204 orang).

Baca juga: 5 Fakta Terpidana Mati Cai Changpan, Gali Lubang di Sel, Temui Anak Istri hingga Masuk Hutan

Oleh sebab itu, Puguh mengusulkan agar ada skema komutasi di mana terpidana mati yang 10 tahun menjalani masa pidana dan berkelakuan baik dapat diubah hukumannya menjadi seumur hidup.

Sebab, tidak sedikit terpidana mati yang sikapnya telah berubah menjadi baik selama menunggu eksekusi mati tersebut.

"Ada satu cerita saudara kita yang sudah menjalani pidana 15 tahun menunjukkan perubahan sikap yang sangat baik, tidak sekadar sadar, tapi juga produktif karena sudah menghasilkan secara ekonomi untuk mendukung kehidupan keluarganya, eh ndilalah harus menjalani eksekusi mati," kata dia.

Grasi

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam menyatakan, upaya komutasi itu dapat diwujudkan melalui pemberian grasi oleh presiden.

Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, di Kantor Komnas HAM, Jl. Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2019). KOMPAS.com/Dian Erika Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, di Kantor Komnas HAM, Jl. Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2019).
Anam berpendapat, lamanya terpidana mati menunggu eksekusi mati dapat menjadi pertimbangan karena menyangkut kepentingan kemanusiaan.

Baca juga: Cerita Terpidana Mati Sembuh dari Covid-19: Saya Juga Takut, tetapi Harus Optimistis...

"Menurut saya, angka tunggu ini juga bisa dijadikan salah satu pertimbangan oleh Presiden dengan melihat deret tunggu ini, kalau orang sudah dihukum 20 tahun misalnya apalagi misalnya usianya sudah di atas 60-70 tahun," kata Anam.

Sisi kemanusiaan tidak melulu didefinisikan dengan kondisi terpidana yang sakit parah dan tidak mengakses layanan kesehatan dari dalam lembaga pemasyarakatan.

Menurut Anam, lamanya terpidana mati menunggu eksekusi mati juga dapat dipertimbangkan sebagai alasan kemanusiaan.

Sebab, kata dia, lamanya menunggu eksekusi mati juga berpengaruh pada kondisi mental dan psikologis terpidana.

Terlebih, layanan psikolog kepada para terpidana mati juga sangat terbatas sehingga sulit untuk membuat terpidana mati merasa tenang.

Baca juga: Polda Metro Jaya Kerahkan Brimob dalam Pengejaran Terpidana Mati Cai Changpan

"Misalnya yang sudah dihukum 20 tahun atau dia sudah 25 tahun atau 30 tahun atau yang paling lama sudah meninggal, itu juga pertimbangan sisi kemanusiaan," ujar dia.

Penyiksaan

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sebelumnya menyatakan, menunggu dalam waktu yang tak menentu untuk dieksekusi serta dalam penjara yang dinilai tak layak merupakan bagian dari penyiksaan.

Hal itu dikategorikan sebagai bagian dari penghukuman yang kejam dan tak manusiawi.

Aktivis ICJR Erasmus Napitupulu di Jakarta, Kamis (2/11/2017).KOMPAS.com/IHSANUDDIN Aktivis ICJR Erasmus Napitupulu di Jakarta, Kamis (2/11/2017).
Menurut temuan ICJR, para napi ditempatkan dalam sel bercahaya rendah, waktu minim untuk berkegiatan di luar sel, mengalami diskriminasi dan perundungan, kekerasan, dan lapas yang overkapasitas. Kondisi itu memengaruhi kondisi psikologis.

Kemudian, nutrisi yang kurang dalam makanan, tidak ada pemeriksaan medis berkala, jam besuk terbatas, akses terbatas terhadap bahan bacaan, dan jumlah psikolog yang sangat minim.

Baca juga: Sederet Fakta Baru Kaburnya Terpidana Mati Cai Changpan dari Lapas Tangerang

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menyebut hal itu menciptakan fenomena yang disebut fenomena deret tunggu.

"Yang berarti situasi-situasi buruk ketika terpidana mati mengalami tekanan mental atau stres yang hebat karena menunggu waktu eksekusi yang panjang dan tak pasti di tempat-tempat penahanan dengan kondisi yang tidak layak," kata Erasmus dalam siaran pers, Jumat (26/6/2020) lalu.

ICJR berpandangan, mempercepat eksekusi bukan solusi untuk menuntaskan persoalan tersebut.

Apabila hukuman mati tetap diimplementasikan, negara wajib menjamin terpidana terhindar dari fenomena deret tunggu.

Seandainya fenomena tersebut masih terjadi, ICJR mengusulkan adanya moratorium.

Baca juga: Jaksa Agung Tegaskan Lanjutkan Eksekusi Mati

"Untuk menghindari adanya fenomena deret tunggu, pemerintah dan sistem peradilan pidana wajib melakukan moratorium eksekusi mati, termasuk moratorium penuntutan dan penjatuhan pidana mati," tutur Erasmus.

ICJR pun mendorong penerapan komutasi atau peralihan hukuman bagi terpidana mati dengan masa tunggu lebih dari 10 tahun yang tercantum dalam RKUHP.

"Oleh pemerintah, perumusan tersebut diklaim sebagai kebijakan 'jalan tengah' polemik pidana mati," ucap dia.

"Jika pemerintah benar berkomitmen pada politik hukumnya lewat rumusan RKUHP, maka komutasi bagi terpidana mati yang sudah dideret tunggu lebih dari 10 tahun harus diberikan," sambung Erasmus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

'Checks and Balances' terhadap Pemerintahan Dinilai Lemah jika PDI-P Gabung Koalisi Prabowo

"Checks and Balances" terhadap Pemerintahan Dinilai Lemah jika PDI-P Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Berikut Daftar Koalisi Terbaru Indonesia Maju

Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Berikut Daftar Koalisi Terbaru Indonesia Maju

Nasional
PKS Temui PKB Bahas Potensi Kerja Sama untuk Pilkada 2024, Jateng dan Jatim Disebut

PKS Temui PKB Bahas Potensi Kerja Sama untuk Pilkada 2024, Jateng dan Jatim Disebut

Nasional
Dilaporkan ke Dewas, Wakil Ketua KPK Bantah Tekan Pihak Kementan untuk Mutasi Pegawai

Dilaporkan ke Dewas, Wakil Ketua KPK Bantah Tekan Pihak Kementan untuk Mutasi Pegawai

Nasional
Lantik Sekjen Wantannas, Menko Polhukam Hadi Ingatkan Situasi Keamanan Dunia yang Tidak Pasti

Lantik Sekjen Wantannas, Menko Polhukam Hadi Ingatkan Situasi Keamanan Dunia yang Tidak Pasti

Nasional
Dudung Abdurahman Datangi Rumah Prabowo Malam-malam, Mengaku Hanya Makan Bareng

Dudung Abdurahman Datangi Rumah Prabowo Malam-malam, Mengaku Hanya Makan Bareng

Nasional
Idrus Marham Sebut Jokowi-Gibran ke Golkar Tinggal Tunggu Peresmian

Idrus Marham Sebut Jokowi-Gibran ke Golkar Tinggal Tunggu Peresmian

Nasional
Logo dan Tema Hardiknas 2024

Logo dan Tema Hardiknas 2024

Nasional
Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Nasib Koalisi Perubahan di Ujung Tanduk

Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Nasib Koalisi Perubahan di Ujung Tanduk

Nasional
PKS Undang Prabowo ke Markasnya, Siap Beri Karpet Merah

PKS Undang Prabowo ke Markasnya, Siap Beri Karpet Merah

Nasional
Selain Nasdem, PKB Juga Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Selain Nasdem, PKB Juga Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
BRIN Bahas Pengembangan Satelit untuk Waspadai Permasalahan Keamanan Antariksa

BRIN Bahas Pengembangan Satelit untuk Waspadai Permasalahan Keamanan Antariksa

Nasional
Nasdem dukung Prabowo-Gibran, Golkar Tak Khawatir Jatah Menteri Berkurang

Nasdem dukung Prabowo-Gibran, Golkar Tak Khawatir Jatah Menteri Berkurang

Nasional
GASPOL! Hari Ini: Hasto Kristiyanto dan Hadirnya Negara Kekuasaan

GASPOL! Hari Ini: Hasto Kristiyanto dan Hadirnya Negara Kekuasaan

Nasional
Kumpulkan 777 Komandan Satuan, KSAD: Jangan Hanya 'Copy Paste', Harus Bisa Berinovasi

Kumpulkan 777 Komandan Satuan, KSAD: Jangan Hanya "Copy Paste", Harus Bisa Berinovasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com