Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diusulkan Komutasi, agar Terpidana Mati Tak Menunggu Puluhan Tahun untuk Dieksekusi

Kompas.com - 09/10/2020, 09:22 WIB
Ardito Ramadhan,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

Sisi kemanusiaan tidak melulu didefinisikan dengan kondisi terpidana yang sakit parah dan tidak mengakses layanan kesehatan dari dalam lembaga pemasyarakatan.

Menurut Anam, lamanya terpidana mati menunggu eksekusi mati juga dapat dipertimbangkan sebagai alasan kemanusiaan.

Sebab, kata dia, lamanya menunggu eksekusi mati juga berpengaruh pada kondisi mental dan psikologis terpidana.

Terlebih, layanan psikolog kepada para terpidana mati juga sangat terbatas sehingga sulit untuk membuat terpidana mati merasa tenang.

Baca juga: Polda Metro Jaya Kerahkan Brimob dalam Pengejaran Terpidana Mati Cai Changpan

"Misalnya yang sudah dihukum 20 tahun atau dia sudah 25 tahun atau 30 tahun atau yang paling lama sudah meninggal, itu juga pertimbangan sisi kemanusiaan," ujar dia.

Penyiksaan

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sebelumnya menyatakan, menunggu dalam waktu yang tak menentu untuk dieksekusi serta dalam penjara yang dinilai tak layak merupakan bagian dari penyiksaan.

Hal itu dikategorikan sebagai bagian dari penghukuman yang kejam dan tak manusiawi.

Aktivis ICJR Erasmus Napitupulu di Jakarta, Kamis (2/11/2017).KOMPAS.com/IHSANUDDIN Aktivis ICJR Erasmus Napitupulu di Jakarta, Kamis (2/11/2017).
Menurut temuan ICJR, para napi ditempatkan dalam sel bercahaya rendah, waktu minim untuk berkegiatan di luar sel, mengalami diskriminasi dan perundungan, kekerasan, dan lapas yang overkapasitas. Kondisi itu memengaruhi kondisi psikologis.

Kemudian, nutrisi yang kurang dalam makanan, tidak ada pemeriksaan medis berkala, jam besuk terbatas, akses terbatas terhadap bahan bacaan, dan jumlah psikolog yang sangat minim.

Baca juga: Sederet Fakta Baru Kaburnya Terpidana Mati Cai Changpan dari Lapas Tangerang

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menyebut hal itu menciptakan fenomena yang disebut fenomena deret tunggu.

"Yang berarti situasi-situasi buruk ketika terpidana mati mengalami tekanan mental atau stres yang hebat karena menunggu waktu eksekusi yang panjang dan tak pasti di tempat-tempat penahanan dengan kondisi yang tidak layak," kata Erasmus dalam siaran pers, Jumat (26/6/2020) lalu.

ICJR berpandangan, mempercepat eksekusi bukan solusi untuk menuntaskan persoalan tersebut.

Apabila hukuman mati tetap diimplementasikan, negara wajib menjamin terpidana terhindar dari fenomena deret tunggu.

Seandainya fenomena tersebut masih terjadi, ICJR mengusulkan adanya moratorium.

Baca juga: Jaksa Agung Tegaskan Lanjutkan Eksekusi Mati

"Untuk menghindari adanya fenomena deret tunggu, pemerintah dan sistem peradilan pidana wajib melakukan moratorium eksekusi mati, termasuk moratorium penuntutan dan penjatuhan pidana mati," tutur Erasmus.

ICJR pun mendorong penerapan komutasi atau peralihan hukuman bagi terpidana mati dengan masa tunggu lebih dari 10 tahun yang tercantum dalam RKUHP.

"Oleh pemerintah, perumusan tersebut diklaim sebagai kebijakan 'jalan tengah' polemik pidana mati," ucap dia.

"Jika pemerintah benar berkomitmen pada politik hukumnya lewat rumusan RKUHP, maka komutasi bagi terpidana mati yang sudah dideret tunggu lebih dari 10 tahun harus diberikan," sambung Erasmus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Nasional
Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Nasional
Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Nasional
Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Nasional
Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Nasional
Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Nasional
Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nasional
JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

Nasional
Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Nasional
Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Nasional
DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

Nasional
Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Nasional
Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto, Prabowo: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto, Prabowo: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nasional
Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com