JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sejumlah permasalahan pada program subsidi gas LPG 3 kilogram. Permasalahan itu diketahui dari hasil Kajian Sistem Tata Kelola Program LPG 3 Kg yang dilakukan pada 2019 lalu.
"Subsidi harga LPG 3 kg bermasalah mulai dari perencanaan, operasional, pengendalian, dan pengawasan," kata Plt Juru Bicara KPK Ipi Maryati dalam keterangan tertulis, Kamis (8/10/2020).
Baca juga: Sri Mulyani: 9,8 Juta Rumah Tangga Kaya Ikut Nikmati Subsidi Gas 3 Kg
Ipi menuturkan, pada aspek perencanaan, terdapat dua permasalahan yakni tidak jelasnya kriteria pengguna LPG bersubsidi dan tidak akuntabelnya penetapan kuota penerima LPG bersubsidi.
KPK menilai kriteria spesifik atau definisi masyarakat miskin penerima subsidi serta jenis-jenis usaha mikro yang bisa menerima subsdi belum jelas.
Terkait kuota penerima LPG bersubsidi, usulan dari daerah juga tidak berdasarkan pada data calon penerima yang valid.
"Misalnya, usulan yang diajukan provinsi selalu meningkat, padahal data BPS menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut," kata Ipi.
Baca juga: Pengusaha Warung Kopi Khawatir Omzet Menurun akibat Subsidi Gas 3 Kg Dicabut
Selanjutnya, pada aspek pelaksanaan, KPK menyoroti lemahnya sistem pengawasan distribusi serta lemahnya kendali dalam impelementasi penetapan harga eceran tertinggi.
Beberapa permasalahan yang ditemukan KPK antara lain kurangnya sosialisasi dari Pertamina dan agen kepada pangkalan yang menyebabkan banyak pangkalan tidak mengisi logbook dengan benar.
Sanksi bagi pangkalan yang menjual gas subsidi di atas harga eceran tertinggi (HET) juga dinilai masih minim.
Dinas Perdagangan Kabupaten/Kota pun tidak mempunyai wewenang untuk menindak, hanya dapat memberi imbauan.
Selain itu, tidak beroperasinya pengaturan zonasi distribusi LPG Public Service Obligation (PSO) juga menjadi salah satu permasalahan yang disorot KPK.
"Dampaknya, terjadi manipulasi pengisian logbook. Semakin banyak persentase ke pengecer, maka harga semakin tidak terkendali. Ada indikasi pembelian rutin dan jumlah banyak oleh UMKM/RT untuk dijual kembali," kata Ipi.
Baca juga: Saat Gas 3 Kg Langka, Ada Rumah Makan yang Gunakan 25 Tabung
Pada kesimpulannya, KPK menilai upaya pemerintah untuk konversi penggunaan minyak tanah menjadi LPG dengan subsidi harga komoditas tidak efektif.
Mekanisme pengendalian melalui distribusi tertutup juga dinilai telah terbukti gagal.
Atas temuan tersebut, KPK memberikan tiga rekomendasi kepada Pemerintah dan PT Pertamina (Persero), yakni evaluasi Perpres Nomor 38 Tahun 2019 terkait perluasan penggunaan LPG bersubsidi.
"Kedua, Pemerintah mengubah kebijakan dari subsidi harga komoditas ke Pertamina menjadi bantuan langsung (targeted subsidy) dalam bentuk cash transfer dengan utilisasi Basis Data Terpadu (BDT) atau sekarang dikenal dengan DTKS yang memiliki NIK sebagai target penerima subsidi energi," kata Ipi.
Baca juga: Dedi Mulyadi: Subsidi Gas 3 Kg Dicabut, Kesehatan Anak Terancam
Ketiga, perbaikan database untuk target penerima usaha kecil menengah (UKM).
Adapun kajian ini dilakukan KPK dengan sejumlah latar belakang. Salah satunya, anggaran subsidi yang terus membengkak.
"Subsidi minyak tanah pada tahun 2008 mencapai Rp 47,61 Triliun. Setelah dialihkan menjadi subsidi LPG nilai subsidi justru meningkat menjadi Rp 58,14 Trilliun. Ini menjadi beban yang terus membengkak bagi negara," kata Ipi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.