Selain itu, tidak beroperasinya pengaturan zonasi distribusi LPG Public Service Obligation (PSO) juga menjadi salah satu permasalahan yang disorot KPK.
"Dampaknya, terjadi manipulasi pengisian logbook. Semakin banyak persentase ke pengecer, maka harga semakin tidak terkendali. Ada indikasi pembelian rutin dan jumlah banyak oleh UMKM/RT untuk dijual kembali," kata Ipi.
Baca juga: Saat Gas 3 Kg Langka, Ada Rumah Makan yang Gunakan 25 Tabung
Pada kesimpulannya, KPK menilai upaya pemerintah untuk konversi penggunaan minyak tanah menjadi LPG dengan subsidi harga komoditas tidak efektif.
Mekanisme pengendalian melalui distribusi tertutup juga dinilai telah terbukti gagal.
Atas temuan tersebut, KPK memberikan tiga rekomendasi kepada Pemerintah dan PT Pertamina (Persero), yakni evaluasi Perpres Nomor 38 Tahun 2019 terkait perluasan penggunaan LPG bersubsidi.
"Kedua, Pemerintah mengubah kebijakan dari subsidi harga komoditas ke Pertamina menjadi bantuan langsung (targeted subsidy) dalam bentuk cash transfer dengan utilisasi Basis Data Terpadu (BDT) atau sekarang dikenal dengan DTKS yang memiliki NIK sebagai target penerima subsidi energi," kata Ipi.
Baca juga: Dedi Mulyadi: Subsidi Gas 3 Kg Dicabut, Kesehatan Anak Terancam
Ketiga, perbaikan database untuk target penerima usaha kecil menengah (UKM).
Adapun kajian ini dilakukan KPK dengan sejumlah latar belakang. Salah satunya, anggaran subsidi yang terus membengkak.
"Subsidi minyak tanah pada tahun 2008 mencapai Rp 47,61 Triliun. Setelah dialihkan menjadi subsidi LPG nilai subsidi justru meningkat menjadi Rp 58,14 Trilliun. Ini menjadi beban yang terus membengkak bagi negara," kata Ipi.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan