JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua DPR Puan Maharani meminta pemerintah melibatkan berbagai kelompok masyarakat dalam pembuatan peraturan pemerintah (PP) yang menjadi aturan turunan dari UU Cipta Kerja, agar PP yang diterbitkan dapat diterima semua pihak.
“Kami mendorong pemerintah untuk menggandeng berbagai kelompok pekerja agar terlibat dalam pembahasan aturan turunan UU Cipta Kerja. Keterlibatan pekerja dibutuhkan untuk memperinci UU Cipta Kerja,” kata Puan dalam keterangan tertulis, Kamis (8/10/2020).
Baca juga: Masif Penolakan UU Cipta Kerja, Sekjen MUI Minta Presiden Terbitkan Perppu
Dalam membahas PP terkait klaster ketenagakerjaan, misalnya, Puan mendorong agar pemerintah melibatkan kelompok buruh/pekerja.
Beberapa peraturan turunan yang perlu dibahas bersama seperti soal pengupahan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Ia pun mengatakan DPR akan terus mengawal hadirnya PP yang berkeadilan dan bermanfaat bagi seluruh rakyat.
"DPR RI akan mengawal untuk memastikan aturan turunan UU Cipta Kerja memberikan manfaat yang adil bagi semua," ujarnya.
Baca juga: Politisi PKS Sebut Anggota DPR Tak Pegang Draf Final UU Cipta Kerja saat Hari Pengesahan
Puan mengatakan, sejatinya UU Cipta Kerja akan memperbaiki iklim investasi di Indonesia dan memperluas lapangan kerja.
Menurut Puan, proses pembahasan hingga pengesahan UU Cipta Kerja dilakukan secara terbuka. Rapat-rapatnya dapat diakses publik melalui tayangan streaming.
"UU Cipta Kerja tidak hanya bertujuan menarik investasi dan meningkatkan daya saing Indonesia, melainkan juga untuk memperluas lapangan kerja yang baik," ungkapnya.
Baca juga: UU Cipta Kerja Sudah Disahkan, tapi Baleg Sebut Belum Ada Naskah Final
RUU Cipta Kerja telah disahkan menjadi undang-undang pada Senin (5/10/2020) meski berbagai kelompok masyarakat telah menyuarakan penolakan.
Merujuk pada UU Nomor 12/2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan, RUU yang telah disahkan DPR menjadi UU harus diserahkan kepada presiden untuk ditandatangani dalam jangka waktu paling lama 30 hari.
Apabila presiden tidak membubuhkan tanda tangan dalam kurun waktu tersebut, RUU tetap dinyatakan sah dan otomatis menjadi undang-undang serta wajib diundangkan.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyatakan, DPR dan pemerintah sebetulnya dapat membatalkan pemberlakuan UU Cipta Kerja.
Ia mencontohkan, DPR dan pemerintah pernah mencabut UU Nomor 25/1997 tentang Ketenagakerjaan dan menunda RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) dan Rancangan Undang-undang Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (PPK).
Baca juga: Istana: Tidak Ada Opsi Penerbitan Perppu untuk Batalkan UU Cipta Kerja
Menurut UU 12/2011, Perppu dapat ditetapkan presiden dalam hal ihwal kegentingan memaksa. Asfin berpendapat, kewenangan ini bisa saja dilakukan apabila presiden menghendaki.