JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid meminta aparat keamanan tidak menggunakan kekuatan yang berlebihan dalam mengamankan aksi unjuk rasa terkait penolakan Undang-Undang Cipta Kerja.
“Amnesty mendesak kepolisian untuk menghentikan penggunaan kekuatan berlebih dalam menghadapi para pengunjuk rasa,” kata Usman Hamid saat dihubungi Kompas.com, Kamis (8/10/2020).
“Aparat keamanan harus menjunjung tinggi hak asasi manusia untuk melakukan unjuk rasa secara damai di tengah gelombang penolakan Undang-undang Cipta Kerja yang disahkan,” ujar dia.
Baca juga: Demo di Cikarang Ricuh, Mahasiswa Bentrok dengan Aparat
Usman mengatakan, demonstrasi merupakan hak atas kemerdekaan berekspresi dan berkumpul secara damai.
Menurutnya, pihak berwenang harus memperbolehkan setiap kelompok masyarakat, baik buruh, petani maupun mahasiswa dan pelajar, untuk berdemonstrasi secara bebas dan damai.
Ia mengatakan, setelah pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR pada Senin lalu, berbagai serikat buruh, organisasi mahasiswa, akademisi dan aktivis telah mengumumkan rencana untuk menggelar protes menolak hasil pengesahan UU Cipta Kerja.
Baca juga: Aksi Buruh di Banten, Dihadang ke Jakarta dan Rencana Mogok Nasional Tolak RUU Cipta Kerja
Sementara, kata Usman media massa mulai melaporkan bahwa polisi mengintimidasi kelompok-kelompok yang bepergian dengan bus ke Jakarta, menangkap, memerintahkan mereka untuk kembali ke rumah masing-masing dan tidak bergabung dengan massa lain di Jakarta.
Amnesty mencatat, insiden kekerasan dan penangkapan terhadap ratusan pengunjuk rasa terjadi di berbagai kota pada 6 hingga 7 Oktober 2020.
“Dalam catatan kami, sedikitnya 180 pengunjuk rasa di Bandung terluka, 24 mahasiswa di Serang juga mengalami luka bahkan hingga gegar otak. Kejadian ini tak bisa dibenarkan.” ujar Usman.
“Mencegah orang bergabung dengan protes damai adalah pelanggaran terhadap hak asasi mereka. Setiap orang memiliki hak untuk bergabung dengan orang lain dan mengekspresikan pikiran mereka secara damai, ” tambah dia.
Baca juga: Polisi: Massa Aksi Unjuk Rasa di DPR Diajak Lewat Pesan Singkat
Usman menilai penggunaan gas air mata dan senjata peluru karet, juga bisa menyebabkan cedera serius, dan dalam beberapa kejadian, menyebabkan kematian.
Menurut Usman, ketika senjata semacam itu digunakan maka harus sesuai dengan prinsip legalitas serta prinsip keperluan dan prinsip proporsionalitas.
“Aparat keamanan harus menahan diri untuk menggunakan kekuatan yang tidak perlu, berlebihan atau eksesif, apalagi jika sampai mengintimidasi demonstran,” ujar dia.
“Kenyataannya bahwa polisi menggunakan gas air mata dan kekerasan seperti aksi memukul dan menendang pengunjuk rasa yang tak bersenjata sangat mengkhawatirkan,” kata Usman.
Baca juga: Aksi di Istana, Mahasiswa BEM SI Tuntut Jokowi Keluarkan Perppu atas UU Cipta Kerja
Kemudian Usman mendesak pemerintah tidak melibatkan militer dalam penanganan demonstrasi.