JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah aplikasi marketplace di Tanah Air dikejutkan dengan tindakan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang menjual Gedung DPR pada Rabu (7/10/2020).
Tindakan tersebut muncul setelah DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang di tengah derasnya desakan publik agar wakil rakyat menghentikan pembahasan aturan yang disebut banyak memuat pasal-pasal kontroversial itu.
Penjualan Gedung DPR mulai ramai sejak pagi hingga siang di platform Tokopedia dan Shoppee. Pada salah satu iklan yang ditawarkan, harga Gedung DPR dibanderol Rp 100 dengan keterangan "Edisi tak terpakai, jual cepat Kantor DPR beserta anggotanya".
Baca juga: Gedung DPR Dijual di Tokopedia, Ini Kata Manajemen
Pada iklan yang lain, gedung tempat para wakil rakyat itu bermarkas dijual seharga Rp 1.000-Rp 1.650. Penjual menambahkan keterangan pada lapak jualannya "GEDUNG DPR BESERTA ANGGOTANYA."
Namun, pada siang hingga menjelang sore hari, iklan-iklan itu di-takedown atau diturunkan oleh pihak manajemen marketplace setelah mendapat laporan yang masuk melalui fitur Pelaporan Penyalahgunaan.
"Saat ini kami terus menindaklanjuti laporan tersebut sesuai prosedur dan kami akan menindak tegas segala penyalahgunaan pada platform Tokopedia," kata External Communication Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya dihubungi Kompas.com, Rabu (7/10/2020).
Baca juga: Gedung DPR Dijual Murah di Shopee, Sekjen: Joke Tidak pada Tempatnya
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menilai, tindakan publik menjual Gedung DPR sebagai sebuah guyonan (joke) yang tidak tepat.
Meski tak akan melaporkannya ke aparat berwenang, namun ia meminta agar persoalan ini dapat diusut.
"Menurut saya kepolisian juga harus mengambil tindak tegas. Ini kan BMN negara. Jadi joke-joke semacam itu saya kira tidak pada tempatnya," kata Indra dalam konferensi pers yang disiarkan melalui akun Instagram DPR RI, Rabu (7/10/2020).
Ia menambahkan, Gedung DPR merupakan aset milik negara yang dicatat oleh Kementerian Keuangan. Oleh karena itu, menurut dia, jika Kemenkeu merasa dirugikan dengan munculnya iklan penjualan Gedung DPR, instansi tersebut dapat melaporkannya ke aparat kepolisian.
Baca juga: DPR Sahkan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja
Sementara itu, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, munculnya iklan penjualan Gedung DPR merupakan ekspresi kekecewaan publik terhadap para anggota dewan atas disahkannya UU Cipta Kerja.
"Ekspresi tersebut terlihat sangat sarkastis tetapi mungkin saja ini fakta sesungguhnya yang dirasakan publik saat ini. Kekecewaan luar biasa yang berujung pada tergerusnya kepercayaan publik pada DPR," kata Lucius kepada Kompas.com, Rabu malam.
Menurut dia, ada problematikan pada sistem relasi antara masyarakat dan anggota dewan yang diatur di dalam sistem ketatatanegaraan di Indonesia. Ketika ada anggota dewan yang dinilai tidak benar dalam menjalankan tugasnya, publik yang kecewa tak bisa menghukum anggota dewan tersebut dengan menarik mandat yang diberikan secara langsung.
"Sistem ketatanegaraan kita menyediakan kanal pemilu sebagai satu-satunya cara bagi rakyat untuk bisa memberikan apresiasi dan hukuman bagi kerja anggota DPR. Mekanisme ini membuka ruang yang leluasa bagi DPR untuk bisa sewenang-wenang dalam bekerja dan membuat kebijakan," ujarnya.
Baca juga: Pengesahan UU Cipta Kerja, Akademisi: Pemerintah dan DPR Tak Transparan
"Toh seburuk apapun kebijakan yang diputuskan, RUU yang dihasilkan, paling banter rakyat hanya bisa demo, maki-maki di media sosial, dan ekspresi kekecewaan lain seperti aksi menjual Gedung DPR di toko online. Semua itu tak mampu untuk sampai pada tahap menghukum langsung anggota yang tidak memperjuangkan kepentingan publik dengan menarik mandat dari anggota," imbuh dia.