JAKARTA, KOMPAS.com - DPR RI beserta pemerintah telah mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi undang-undang melalui rapat paripurna, Senin (5/10/2020).
Namun, pengesahan dinilai Aliansi Gerak Perempuan terlalu cepat dan mengabaikan keinginan rakyat.
"Hanya perlu waktu yang singkat bagi pemerintah dan DPR untuk merancang, membahas dan mengetok palu mengesahkan Omnibus Law UU Cipta Kerja," kata Koordinator Lapangan aliansi Gerak Perempuan Eva Nur Cahyani dalam Aksi Selasaan yang digelar secara virtual, Selasa (6/10/2020).
Baca juga: DPR Didesak Segera Bahas RUU PKS dan RUU PPRT
Menurut Eva, UU tersebut memang mempermudah investasi. Tetapi di sisi lain justru menyengsarakan para buruh dan menghancurkan lingkungan serta hak-hak perempuan.
Ia juga melihat, ada perbedaan sikap DPR dalam menyikapi UU Cipta Kerja dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
"Sebaliknya, RUU PKS yang sudah sejak 2014 lalu didorong oleh rakyat sama sekali tidak digubris. RUU PKS bolak balik keluar masuk prolegnas, tetapi tidak kunjung dibahas dengan berbagai alasan," ujar dia.
Eva menuturkan, RUU PKS tersebut sangat penting untuk masyarakat Indonesia. Mengingat, sudah semakin banyak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Baca juga: Jaringan Masyarakat Sipil Dorong RUU PKS Dimasukkan Prolegnas Prioritas 2021
Begitu pula dengan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang sampai saat ini, kata Eva, belum disahkan.
Padahal, sudah banyak masyarakat terutama para pekerja rumah tangga yang menunggu pengesahan tersebut.
"Walaupun posisi terakhir RUU PPRT sudah ditetapkan dalam Pleno Baleg DPR RI pada 1 Juli 2020," ungkap dia.
"Namun tetap saja gagal dibahas dalam Rapat Paripurna DPR RI 16 Juli 2020 karena tidak menjadi agenda Bamus DPR," ucap dia.
Diketahui, RUU PKS sudah dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.
Baca juga: Saat Kilatnya Pembahasan RUU Cipta Kerja Dibandingkan Lambannya RUU PKS
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengungkap alasan Komisi VIII mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dicabut dari Prolegnas prioritas 2020.
Supratman menyebut, penarikan itu dilakukan lantaran menunggu pengesahan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKHUP).
"Alasannya karena masih menunggu pengesahan RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang akan sangat terkait dari sisi penjatuhan sanksi. Jadi itu alasannya kenapa komisi VIII menarik RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual," kata Supratman dalam rapat kerja terkait evaluasi prolegnas prioritas 2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (2/7/2020).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.