Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ancaman Kasus Suspek Covid-19 yang Terus Meningkat di Indonesia...

Kompas.com - 07/10/2020, 07:27 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus suspek Covid-19 mengalami peningkatan dalam beberapa waktu terakhir.

Hal itu terlihat dari data harian yang dilaporkan Satgas Penanganan Covid-19 setiap sore.

Pada Selasa (6/10/2020), suspek Covd-19 diketahui mencapai 140.305 orang.

Meskipun jumlahnya lebih rendah dari data pada Senin (5/10/2020), yakni 141.169 kasus, tetapi jumlah suspek belakangan ini meningkat.

Baca juga: Epidemiolog: Jika Kasus Suspek Covid-19 Tinggi, Harus Dicermati Penyebabnya

Pada bulan-bulan sebelumnya, jumlah pasien suspek hanya berkisar di sekitar angka 97.000-98.000.

Namun belakangan, seiring dengan bertambahnya kasus hingga mencapai 4.000 setiap hari, jumlah pasien suspek pun turut meningkat.

Jumlah suspek meningkat perlu dicermati

Melihat kondisi ini, pakar Epidemiologi Universitas Airlangga Laura Navika Yamani mengatakan, masyarakat harus mencermati jumlah kasus suspek Covid-19 yang tinggi dalam beberapa waktu terakhir.

Menurutnya, perlu dikritisi apa yang menjadi penyebab kondisi suspek yang semakin banyak dari sebelumnya.

Baca juga: UPDATE 6 Oktober: 140.305 Kasus Suspek Covid-19 di Indonesia

"Kalau suspek semakin tinggi, maka bagaimana bisa terjadi seperti itu? Saya kira kenapa sampai banyak?" ujar Laura ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (6/10/2020).

Laura menyebut, perlu dipastikan dari mana asal kasus suspek yang tercatat di data pemerintah.

Pertama, apakah bersumber dari contact tracing yang masif dilakukan.

"Kedua, kalau iya, mengapa kok sampai tidak diperiksa. Ketika ada kasus yang masuk dalam golongan suspek, seharusnya segera dilakukan pemeriksaan," ungkap Laura.

"Pemeriksaan swab, sehingga bisa diketahui atau langsung dikonfirmasi bahwa ada infeksi Virus Corona apa tidak ?," lanjut dia.

Baca juga: Kasus Suspek Meningkat, Epidemiolog Minta Masyarakat Cermati Laporan Data Covid-19

Ketiga, menurutnya perlu dicari penyebab lain, apakah karena para individu yang masuk dalam kategori suspek memiliki persoalan individu.

Misalnya, takut dengan stigma masyarakat sekitar yang bisa berdampak kepada kehidupan sehari-hari atau kondisi ekonomi mereka.

"Sehingga mereka tidak mau diperiksa. Atau ada faktor lain, misalnya kapasitas pemeriksaan yang terbatas. Sehingga harus dicari tahu faktornya apa," tambah dia.

Bahaya apabila tak segera dites

Menurut Laura, idealnya pasien suspek Covid-19 harus segera menjalani tes swab PCR.

Tujuannya, untuk memastikan yang bersangkutan terinfeksi Covid-19 atau tidak.

Baca juga: Satgas Covid-19 Harap Semakin Banyak Masyarakat Tes Usap Mandiri

Yang membahayakan, kata dia, apabila jumlah kasus suspek tinggi tetapi tak kunjung dilakukan tes swab.

"Kemudian, jika kondisinya para suspek tidak bisa melakukan isolasi mandiri, atau kesadaran akan hal itu rendah, bisa membahayakan orang lain," ungkap Laura.

Berkaitan dengan hal ini, dia mengingatkan bahwa di dalam kelompok suspek Covid-19 bisa jadi sudah ada yang terpapar penyakit tersebut tapi tidak merasakan gejala.

Jika suspek seperti ini masih beraktivitas, berpotensi menularkan kepada orang lain.

"Mereka yang tidak ada gejala merasa tidak membawa virus, maka ini membahayakan. Justru nantinya tak bisa memutus rantai penularan Covid-19," tambah Laura.

Baca juga: IDI: Harga Tes Swab Seharusnya Rp 1,2 Juta jika Tak Disubsidi Pemerintah

Puskesmas diminta aktif deteksi suspek Covid-19

Kementerian Kesehatan meminta seluruh Kepala Puskemas serta tenaga kesehatan untuk dapat lebih aktif mendeteksi pasien suspek Covid-19.

Staf Ahli Bidang Desentralisasi Kesehatan Kemenkes Pattiselanno Roberth Johan mengatakan langkah itu perlu diutamakan terhadap pasien yang datang dengan gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut ( ISPA).

Pasalnya, ISPA merupakan kriteria dari kasus Suspek pada Covid 19.

"Pasien-pasien datang ke Puskesmas khususnya dengan gejala ISPA, baik pasien baru atau yang sudah sering ke Puskesmas, tetapi baru pertama kali dengan ISPA, tentu itu yang harus diwaspadai," ujar Roberth sebagaimana dikutip dari siaran pers di laman resmi Kemenkes, Senin (5/9/2020).

"Kemudian, perlu dilakukan skrining untuk bisa memastikan apakah karena Covid-19 atau bukan," lanjut dia.

Baca juga: Kemenkes Minta Puskesmas Lebih Aktif Deteksi Pasien Suspek Covid-19

Adapun, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), suspek merupakan istilah pengganti untuk pasien dalam pengawasan (PDP).

Seseorang disebut suspek Covid-19 jika mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal.

Istilah suspek juga merujuk pada orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi/probable Covid-19.

Bisa juga, orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit dan tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Nasional
KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

Nasional
Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Nasional
Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Nasional
Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Nasional
Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Nasional
Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
DKPP Verifikasi Aduan Dugaan Ketua KPU Goda Anggota PPLN

DKPP Verifikasi Aduan Dugaan Ketua KPU Goda Anggota PPLN

Nasional
Kasus Eddy Hiariej Dinilai Mandek, ICW Minta Pimpinan KPK Panggil Jajaran Kedeputian Penindakan

Kasus Eddy Hiariej Dinilai Mandek, ICW Minta Pimpinan KPK Panggil Jajaran Kedeputian Penindakan

Nasional
KPU Undang Jokowi Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Besok

KPU Undang Jokowi Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Besok

Nasional
Cak Imin Mengaku Belum Dapat Undangan KPU untuk Penetapan Prabowo-Gibran

Cak Imin Mengaku Belum Dapat Undangan KPU untuk Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
Tentara AS Meninggal Saat Tinjau Tempat Latihan Super Garuda Shield di Hutan Karawang

Tentara AS Meninggal Saat Tinjau Tempat Latihan Super Garuda Shield di Hutan Karawang

Nasional
DKPP Terima 200 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu Selama 4 Bulan Terakhir

DKPP Terima 200 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu Selama 4 Bulan Terakhir

Nasional
Nasdem-PKB Sepakat Tutup Buku Lama, Buka Lembaran Baru

Nasdem-PKB Sepakat Tutup Buku Lama, Buka Lembaran Baru

Nasional
Tentara AS Hilang di Hutan Karawang, Ditemukan Meninggal Dunia

Tentara AS Hilang di Hutan Karawang, Ditemukan Meninggal Dunia

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com