Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, kenaikan iuran ini demi menjaga keberlanjutan operasional BPJS Kesehatan yang sudah lama mengalami defisit.
Namun, pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, langkah Presiden Jokowi kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung.
Sebab, pada Februari MA juga telah membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan dengan mengubah sedikit nominalnya, menurut Feri, merupakan upaya bermain hukum.
"Mungkin di sana upaya main hukumnya. Dengan demikian, Presiden bisa beralasan bahwa perpres ini tidak bertentangan dengan putusan MA," kata Feri.
Sementara, Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menilai, langkah menaikkan iuran saat pandemi Covid-19 berlangsung memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mempunyai kepekaan sosial.
Baca juga: Dimulai 2021, Bagaimana Perkembangan Proses Peleburan Kelas BPJS Kesehatan?
Padahal, menurut dia, peserta mandiri adalah kelompok masyarakat pekerja informal yang perekonomiannya sangat terdampak oleh Covid-19.
"Pemerintah sudah kehabisan akal dan nalar sehingga dengan seenaknya menaikkan iuran tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat," ujar Timboel.
Kebijakan kontroversial selanjutnya adalah tetap menggelar pilkada di tengah pandemi Covid-19.
Komisi II DPR dan pemerintah sepakat Pilkada 2020 tetap digelar pada 9 Desember.
Padahal, berbagai elemen masyarakat sudah meminta pilkada untuk ditunda karena bisa menjadi klaster penularan Covid-19.
Misalnya, ormas Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sama-sama kompak meminta agar pilkada ditunda terlebih dahulu.
Baca juga: Persentase Kematian Covid-19 di Sumsel Lampaui Nasional, IDI Minta Pilkada Ditunda
Kedua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut sepakat bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat harus menjadi yang utama di masa pandemi ini.
Lembaga swadaya masyarakat semisal Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) hingga Indonesia Corruption Watch (ICW) juga meminta pilkada ditunda karena berpotensi menambah penyebaran Covid-19 serta rawan kecurangan.
Bahkan mayoritas masyarakat umum juga ingin pilkada ditunda. Hal itu terpotret oleh hasil survei Charta Politika dan Indikator Politik Indonesia.
Terbaru, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga meminta pemerintah untuk menunda pilkada.
LIPI yang merupakan lembaga pemerintah non-kementerian itu menilai bukan sebuah keputusan bijak menggelar pilkada di tengah pandemi.
Kekhawatiran berbagai pihak itu beralasan apabila melihat tahap awal pendaftaran pilkada di mana konsentrasi massa masih terjadi.
Baca juga: Suara-suara yang Desak Pilkada Ditunda Vs Keputusan Pemangku Kepentingan
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito pun mengakui, kenaikan kasus Covid-19 baru-baru ini salah satunya disebabkan akibat kontestasi pilkada.
Bahkan, penyelenggara hingga peserta pilkada ikut terpapar Covid-19.
Dari KPU Pusat, ada tiga komisioner yang terpapar Covid-19, yakni Arief Budiman, Evi Novida Ginting serta Pramono Ubaid. Ketua KPU Sulawesi Selatan Faisal Amir juga ikut terpapar setelah sempat bertemu Arief.
Dari komisoner Bawaslu pusat, ada Ratna Dewi Pettalolo yang sudah lebih dulu tertular Covid-19.