Selain itu, penunjukan perwira aktif militer bukan alternatif yang cerdas untuk memecahkan permasalahan di birokrasi, mengingat budaya birokrasi cenderung koordinasi, sementara militer bersifat top-down.
Kedua, aturan terkait skema OMSP tidak lagi menjadi pedoman dalam keterlibatan militer di ranah publik.
Contohnya terdapat pada keterlibatan militer dalam pemberantasan aksi terorisme yang sempat menjadi diskusi hangat di publik.
Sedikitnya, terdapat beberapa kekeliruan dalam draft perpres yang perlu dibenahi.
Kekeliruan paling mendasar dalam draft Perpres tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam Mengatasi Aksi Terorisme adalah mengganti prosedur keterlibatan militer yang harus melalui keputusan politik, menjadi hanya berdasar keputusan Panglima TNI, Kapolri dan Kepala BNPT.
Padahal, jamak diketahui bahwa ketiganya bukan merupakan pejabat politik.
Draft Perpres juga tidak taat prosedur. Alih-alih mengacu pada skema OMSP, keterlibatan TNI justru menggunakan skema operasi militer perang (pasal 6 UU TNI).
Ditambah, fungsi penindakan dalam draft yang menyebut prosesnya dilakukan oleh TNI secara langsung juga berpotensi melanggar TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 dan KUHAP, mengingat institusi militer bukan penegak hukum.
Rencana keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme sudah pada tahap pembentukan unit Komando Operasi Khusus Tentara Nasional Republik Indonesia (Koopsus TNI) yang mengacu pada Perpres No 66 tahun 2019 yang merupakan revisi dari Perpres No 42 tahun 2019.
Di mana Pasal 61 berbunyi, "Komando Pasukan Khusus bertugas menyelenggarakan Operasi Komando, Operasi Sandi Yudha, dan Operasi Penanggulangan Teror sesuai kebijakan Panglima dalam rangka mendukung tugas pokok TNI."
Wajah berbeda keterlibatan militer di ranah publik terdapat pada Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2015 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Pasal 40–53 PP tersebut mengatur secara jelas keterlibatan militer melalui skema perbantuan; dari mulai izin kepada Presiden, lama waktu, hingga penurunan pasukan, serta aturan yang menyebut anggota yang terlibat harus tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip hak asasi manusia.
Praktik baik dalam PP tentang penanganan konflik sosial harus menjadi acuan jelas sinergi antara militer dengan multipihak sebagai implementasi OMSP, termasuk keterlibatan militer dalam penanganan kelompok separatis, serta membantu tugas pemerintahan di daerah yang selama ini cenderung belum menerapkan prinsip good governance.
Contoh lain keterlibatan militer yang belum menggunakan skema OMSP terjadi pada program cetak sawah di lahan gambut Kalimantan, bahkan rencananya militer akan menjadi tumpuan program ketahanan pangan menghadapi pandemi Covid-19.
Menjadikan TNI sebagai ujung tombak proyek cetak sawah perlu dipikirkan kembali, mengingat mengolah gambut menjadi lahan pertanian membutuhkan keahlian spesifik dan teknis.