JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dalam bentuk omnibus law bakal menjadi RUU kontroversial kelima yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepanjang masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Pembahasan RUU yang meliputi 11 klaster ini dikebut oleh pemerintah dan DPR di tengah berbagai penolakan yang muncul dari sejumlah elemen masyarakat sipil.
Tercatat, pembahasan RUU ini hanya memakan waktu tujuh bulan saja, sejak Presiden Jokowi mengirimkan draf rancangan regulasi serta surat presiden ke DPR pada Februari lalu.
Bahkan, Badan Legislasi DPR menyetujui agar hasil pembahasan RUU ini dibawa ke rapat paripurna pada Sabtu (3/10/2020) malam lalu.
Baca juga: Kepolisian Tak Beri Izin Buruh Demo Tolak RUU Cipta Kerja
Salah satu klaster pembahasan yang cukup banyak mendapat penolakan yaitu terkait klaster ketenagakerjaan.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencatat, setidaknya ada tujuh isu penting yang menjadi dasar penolakan rencana pengesahan tersebut.
Mulai dari rencana penghapusan Upah Minimum Sektoral (UMSK), pengurangan nilai pesangon, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang bisa terus diperpanjang, serta outsourcing seumur hidup tanpa batasan jenis pekerjaan.
Kemudian, rencana jam kerja yang dinilai terlalu eksploitatif, hak cuti dan hak upah atas cuti, serta tidak adanya jaminan pensiun dan kesehatan bagi karyawan kontrak dan outsourcing.
"Dari tujuh isu hasil kesepakatan tersebut, buruh menolak keras. Karena itulah, sebanyak 2 juta buruh sudah terkonfirmasi akan melakukan mogok nasional yang berlokasi di lingkungan perusahaan masing-masing," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Minggu (4/10/2020).
Baca juga: Selangkah Menuju Pengesahan RUU Cipta Kerja dan Suara Rakyat yang Diabaikan...
Menurut rencana, aksi mogok nasional akan diselenggarakan pada 6-8 Oktober mendatang.
Selain RUU Cipta Kerja, ada empat RUU lain yang sebelumnya telah disahkan menjadi UU namun cukup menuai kontroversi. Berikut keempat RUU tersebut:
UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi secara resmi telah direvisi menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK pada 17 September 2019 lalu.
Sejak awal, rencana revisi UU tersebut selalu mendapat penolakan dari aktivis antikorupsi karena dikhawatirkan melemahkan kinerja KPK.
Di era Presiden SBY, wacana revisi sempat muncul pada tahun 2010 dan 2012. Namun akhirnya wacana tersebut mengendap.
Demikian halnya pada 2015 hingga 2017, wacana revisi tersebut kembali muncul. Bahkan, Badan Keahlian DPR telah melakukan sosialisasi ke sejumlah perguruan tinggi terkait wacana tersebut.
Namun akhirnya, wacana itu mental kembali.
Baca juga: Revisi UU KPK Disahkan, Para Pegawai KPK Kibarkan Bendera Kuning