JAKARTA, KOMPAS.com - Politisi Partai Gerindra Desmond J Mahesa menilai, pengangkatan dua anggota eks Tim Mawar di lingkungan Kementerian Pertahanan berkaitan erat dengan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan peristiwa HAM 1998.
"Persoalannya bukan Pak Prabowo atau Pak Jokowi (tunjuk anggota eks tim mawar), tetapi persoalan peristiwa ini (1998) kan negara yang harus serius menanganinya," kata Desmond saat dihubungi, Selasa (29/9/2020).
Desmond pun mengaku, sudah memaafkan peristiwa penculikan yang dialaminya pada tahun 1998.
Menurut Desmond, penculikan tersebut sudah selesai dan menjadi masa lalu.
Baca juga: Jokowi Setuju Eks Tim Mawar Jadi Pejabat Kemenhan, Orangtua Korban Penculikan: Lengkap Penderitaan
"Saya pribadi prinsip dasarnya memaafkan, apa yang terjadi di masa lalu karena saya sudah selesaikan, dalam artian masa lalu ya masa lalu," ujarnya.
Desmond mengatakan, pengangkatan dua anggota mantan Tim Mawar itu dianggap sejumlah pihak melukai perasaan keluarga korban adalah hal yang wajar.
Oleh karenanya, kata Desmond, janji-janji kampanye presiden Jokowi terkait penuntasan kasus HAM harus dilakukan agar peristiwa kelam tersebut tidak terulang.
"Kedua, keluarga korban, negara memperhatikan enggak, tantangan-tantangan prihatinan ini, saya pikir adalah satu hal kewajaran saja, prihatin gitu loh. Dan ini harusnya janji-janji kampanye, janji itu harus diungkap karena ini pengalaman buruk yang tidak atau jangan terulang lagi. Kan peristiwa HAM di situ intinya," ucapnya.
Lebih lanjut, Wakil Ketua Komisi III DPR ini mengatakan, penuntasan peristiwa HAM 1998 tidak hanya sekedar menghukum kelompok atau orang seperti Tim Mawar. Namun, harus diungkap sosok yang berperan dibalik peristiwa HAM tersebut.
"Ketidakadilan harus diungkap dibalik itu, peranan-peranan penguasa di masa lalu panglima di masa lalu. Ini Faisal Tanjung sudah meninggal dunia, ada apa dengan Wiranto, harusnya kita melihat ini dalam proses penyelesaian bukan penghukuman yang tidak menyelesaikan masalah," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengusulkan penggantian sejumlah pejabat pimpinan tinggi madya di lingkungan Kementerian Pertahanan.
Baca juga: Penunjukan Eks Tim Mawar Jadi Pejabat Kemenhan Dinilai Jadi Langkah Mundur
Dari enam pejabat baru yang diusulkan, dua di antaranya menuai sorotan karena pernah menjadi anggota Tim Mawar yang diduga terlibat penculikan aktivis pada 1998.
Keduanya yakni Brigjen TNI Yulius Selvanus dan Brigjen TNI Dadang Hendrayudha.
Presiden Joko Widodo menyetujui usul Prabowo ini lewat Keputusan Presiden RI Nomor 166/TPA Tahun 2020 yang diteken pada Rabu (23/9/2020).
Berdasarkan salinan Keppres yang didapat Kompas.com, usulan Prabowo tersebut disampaikan pada 28 Juli dan 7 September 2020.
Baca juga: Saat Jokowi Setujui Eks Tim Mawar Jadi Pejabat Strategis di Kemenhan
Pejabat baru yang ditunjuk yakni;
1. Mayjen TNI Dr Budi Prijono, ST, MM sebagai Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan Kemenhan
2. Brigjen TNI Dadang Hendrayudha sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kemenhan
3. Marsma TNI Yusuf Jauhari, SSos sebagai Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemenhan
4. Marsda TNI Julexi Tambayong sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenhan
5. Mayjen TNI (Mar) Joko Supriyanto, S.H. sebagai Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kemenhan
6. Brigjen TNI Yulius Selvanus sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Kemenhan
Baca juga: Jokowi Setuju Eks Tim Mawar Jadi Pejabat di Kemenhan, IKOHI: Menambah Luka Keluarga Korban
Tim Mawar merupakan Grup IV Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD yang dipimpin Prabowo saat masih menjabat Komandan Kopassus.
Tim tersebut diduga menjadi pelaku dalam operasi penculikan aktivis menjelang jatuhnya Soeharto pada 1998.
Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menilai penunjukan eks anggota Tim Mawar sebagai pejabat Kemenhan ini membuktikan bahwa Presiden Jokowi semakin melanggar janjinya.
Terutama, dalam mengusut kasus penculikan aktivis dan penghilangan paksa serta pelanggaran HAM masa lalu di negara ini.
“Alih-alih menempatkan mereka yang diduga bertanggung jawab pidana ke pengadilan, pemerintah semakin membuka pintu bagi orang-orang yang terimplikasi pelanggaran HAM masa lalu dalam posisi kekuasaan," kata Usman.
"Ini bukan sekadar pragmatisme politik kekuasaan, tetapi juga penghinaan terhadap hak asasi manusia yang ditetapkan pada era reformasi," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.