JAKARTA, KOMPAS.com - Tahapan Pilkada 2020 di 270 daerah tetap dilanjutkan di tengah meningkatnya kasus Covid-19.
Keputusan ini diambil oleh pemerintah, DPR RI, dan penyelenggara pemilu melalui rapat kerja yang digelar Senin (21/9/2020).
"Komisi II DPR bersama Mendagri, Ketua KPU, Ketua Bawaslu dan Ketua DKPP menyepakati bahwa pelaksanaan Pilkada serentak 2020 tetap dilangsungkan pada 9 Desember 2020 dengan penegakan disiplin dan sanksi hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan Covid-19," kata Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia membacakan simpulan rapat, Senin.
Baca juga: Harapan Penundaan Pilkada dan Hak atas Kesehatan yang Harus Jadi Prioritas...
Padahal, di saat yang bersamaan, banyak pihak yang mendesak agar Pilkada 2020 ditunda sementara.
Desakan itu datang dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh masyarakat, pegiat pemilu, bahkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah.
Meski pihak Istana sempat mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo mempertimbangkan berbagai usulan itu, nyatanya pemangku kepentingan memutuskan untuk tetap melanjutkan Pilkada 2020.
Kampanye tetap berjalan sebagaimana yang telah dijadwalkan 26 September-5 Desember dan hari pemungutan suara pun tetap akan digelar 9 Desember.
Atas keputusan tersebut, banyak pihak yang sedari awal meminta Pilkada ditunda masih bersikukuh pada sikap mereka.
Tak berempati
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra bahkan memutuskan untuk golput pada Pilkada 2020.
Hal itu ia lakukan sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan bagi orang yang meninggal dunia akibat terinfeksi virus corona (Covid-19).
"Saya golput Pilkada 9 Desember 2020 sebagai ungkapan solidaritas kemanusiaan bagi mereka yang wafat akibat wabah corona atau terinfeksi Covid-19," kata Azra melalui akun Facebook resminya yang dikutip Kompas.com, Selasa (22/9/2020).
Baca juga: Azyumardi Azra Pilih Golput di Pilkada: Ungkapan Solidaritas bagi Korban Covid-19
Kompas.com telah mengonfirmasi dan Azyumardi Azra membenarkan pernyataan yang dia tulis tersebut.
Azra menilai, jika Pilkada 2020 tetap dilaksanakan di masa pandemi Covid-19, akan tampak tidak memiliki empati pada korban yang telah meninggal dunia.
Menurut dia, pelaksanaan pilkada di tengah pandemi juga menimbulkan potensi klaster baru Covid-19.
"Karena jika Pilkada tetap dilaksanakan 9 Desember, sementara pemerintah gagal mengendalikan Covid-19, maka ini secara implisit tidak memiliki empati kepada mereka yang telah jadi korban wabah dan bahkan membuka pintu lebar-lebar bagi penyebaran Covid-19 lewat klaster pilkada," ucap dia.
Seruan moral PBNU
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini mengatakan, saat ini Indonesia belum memiliki cerita sukses yang bisa dijadikan indikator untuk menekan angka penularan Covid-19.
Hal itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa PBNU meminta agar penyelenggaraan Pilkada 2020 ditunda.
Ditambah lagi, faktanya masyarakat Indonesia belum disiplin menjalankan protokol kesehatan yang baik.
"Kita semua tahu, kita belum bisa disiplin protokol kesehatan yang baik. Kita belum punya satu success story di berbagai macam tempat yang bisa dijadikan indikator untuk menekan laju penambahan Covid-19," ujar Helmy, Rabu (23/9/2020).
Baca juga: Tolak Pilkada 2020 di Tengah Pandemi, PBNU: Seruan Moral demi Keselamatan Jiwa Warga Negara
Ia mengatakan, kondisi di Indonesia saat ini berbeda dengan negara-negara lain yang telah berhasil melakukan protokol kesehatan ketat.
Dengan demikian, mereka sudah bisa memulai kembali kegiatan dan aktivitas normal sehari-hari.
"Kalau kita melihat kondisi sekarang, PBNU memandang penyelenggaraan Pilkada 9 Desember 2020 kalau mau dipaksakan dengan model keteledoran kita sekarang, maka dalam pandangan PBNU hendaknya kita semua punya alternatif baru untuk lakukan penundaan," kata Helmy.
Ia mengatakan, penundaan Pilkada tersebut harus dilakukan sampai dapat dipastikan bahwa situasinya memungkinkan dan aman apabila diselenggarakan.
Namun, jika tetap dipaksakan di tengah pandemi, kata dia, harus dapat dipastikan bahwa tahapan rawan penularan Covid-19 yakni kampanye terbuka dan tatap muka langsung dihilangkan.