ADA banyak kritik terhadap dakwaan Jaksa Pinangki yang dibacakan pada sidang perdana. Benarkah dakwaan dibonsai untuk melindungi pihak-pihak tertentu?
Saya mencoba menggali untuk mencari jawaban ini. Benarkah ada uraian yang hilang dalam dakwaan Jaksa Pinangki?
Benarkah kecurigaan ini: dakwaan Pinangki didesain hanya untuk Pinangki, politisi Andi Irfan, dan Joker alias Djoko Tjandra sebagai tersangka utama?
Tidak mudah menjawab pertanyaan di atas. Tapi, tak sulit juga kok.
Usai sidang perdana Pinangki, Indonesia Corruption Watch (ICW) langsung mengeluarkan rilis, Rabu (24/9/2020) lalu. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyampaikan, ada 4 hal yang hilang dalam dakwaan Pinangki.
Pertama, dakwaan tidak menjelaskan kenapa Djoko Tjandra yang notabene adalah pengusaha kawakan begitu mudah percaya pada Pinangki, seorang jaksa biasa saja yang tidak banyak terlibat dalam kasus-kasus di Kejaksaan Agung.
Kepada Pinangki, Djoko bersedia meneken kontrak action plan pembebasan senilai Rp 140 miliar.
Kedua, sama sekali tidak ditelusuri sejauh mana action plan pembebasan Djoko Tjandra telah dilaksanakan. Siapa saja yang terlibat? Bagaimana keterlibatannya?
Ketiga, siapa saja jaringan Pinangki di dua institusi penegakkan hukum raksasa, yaitu Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung. Terbitnya fatwa MA bermulai di Kejaksaan Agung lalu disetujui Mahkamah Agung. Tak mungkin jika tidak melibatkan "orang dalam".
Keempat, tidak disebutkan dalam dakwaan soal peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus ini.
Hilangnya empat hal tersebut memunculkan kecurigaan bahwa kasus Pinangki dilokalisir agar tidak meluas ke nama-nama lain. Kecurigaan ini disampaikan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.
"Arahnya hanya kepada penipuan, tak lebih. Yang lain tidak akan terbongkar kalau seperti ini," kata Bonyamin kepada saya di program AIMAN yang tayang setiap Senin pukul 20.00 di Kompas TV.
Sosok-sosok penting dalam kasus ini akan dibiarkan bebas melenggang karena tak ada penyelidikan lanjutan kepada mereka.
Saya menemui mantan anggota Komisi Hukum DPR Patrice Rio Capella. Menurut saya, Rio punya pengalaman untuk mengomentari kasus ini.
Ia pernah menjadi sekretaris jenderal partai politik. Ia tersangkut kasus korupsi yang membuatnya divonis 1,5 tahun penjara.
Rio dipidana karena menerima uang dari mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho untuk mengamankan dana bantuan sosial di Kejaksaan Agung pada 2015.
Rio menduga, ada kluster politisi dalam kasus Pinangki. Ia yakin, kluster politisi ini adalah auktor intelektualis yang mengatur semuanya.
"Otaknya ada di kluster politisi, bukan Kejaksaan Agung, bukan kepolisian," kata Rio.
"Kluster politisi inilah yang mendapatkan order kemudian menghubungi pihak kejaksaan agar skenario bisa berjalan dulu," sambung Rio.
Kecurigaan Rio didasarkan pada peran Andi Irfan dalam kasus ini. Irfan adalah perantara aliran uang dari Djoko Tjandra kepada Pinangki. Dugaan Rio, ada gerbong lain yang menerima aliran duit melalui Irfan.
Hal ini dikuatkan oleh pernyataan pejabat kejaksaan.
"Ya terima duit juga dia (Andi Irfan) dari Joko Tjandra," ungkap Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Febrie Ardiansyah di Jakarta, Kamis (16/9/2020).
Tampaknya sudah terang benderang. Akankah tetap dibuat remang-remang?
Kuncinya adalah proposal 140 Miliar!
Saya Aiman Witjaksono…
Salam!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.