JAKARTA, KOMPAS.com - Keputusan yang diambil oleh pemerintah, penyelenggara pemilu dan DPR untuk tetap melanjutkan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 mulai berdampak terhadap pertumbuhan kasus Covid-19 di Tanah Air.
Dalam beberapa waktu terakhir angka pertumbuhan kasus positif baru selalu di atas 4.000 kasus. Pada saat yang sama, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merevisi aturan penyelenggaraan kampanye pilkada.
KPU memasukkan sejumlah larangan dan sanksi yang ditujukan kepada pasangan calon dan tim pendukungnya yang terbukti melakukan pelanggaran protokol kesehatan saat kegiatan kampanye diadakan. Namun, sanksi yang diatur dinilai masih lemah.
Meski demikian, penegakan aturan secara ketat tetap perlu dilakukan untuk menekan pertumbuhan kasus yang kian masif.
Baca juga: Kemendagri Tugaskan 137 Pjs Gantikan Kepala Daerah yang Cuti Pilkada
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menerangkan, salah satu faktor penyebab tingginya pertumbuhan kasus baru Covid-19 disebabkan oleh penyelenggaraan Pilkada 2020.
"Kami masih melihat penambahan kasus positif yang cukup tinggi dan ini terkait dengan Pilkada," kata Wiku dalam konferensi pers dari Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (24/9/2020).
Data Satgas Penanganan Covid-19 menunjukkan terdapat penambahan 4.634 kasus harian baru yang tercatat pada Kamis (24/9/2020). Penambahan kasus harian ini merupakan yang tertinggi sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020.
Hingga kini, akumulasi kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 262.022 orang. Rinciannya, 191.853 orang telah dinyatakan sembuh dan angka kematian mencapai 10.105 orang.
Bahkan, dalam kurun tiga hari terakhir, tedapat penambahan 428 kasus kematian pasien akibat Covid-19.
Baca juga: Maju di Pilkada 2020, Ini Harta Kekayaan Anak dan Menantu Jokowi
Wiku mengaku cukup prihatin dengan adanya calon kepala daerah yang menggelar acara yang menimbulkan kerumunan massa di tengah situasi pandemi seperti saat ini. Pasalnya, kerumunan massa dapat memicu penularan virus corona dan memunculkan klaster baru.
Seperti yang terjadi di Kepulauan Riau. Tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, yaitu Soerya Respationo-Iman Sutiawan, Isdianto-Suryani, dan Ansar Ahmad-Marlin Agustina diduga melanggar protokol kesehatan seusai kegiatan pencabutan nomor urut pasangan calon di Hotel CK Tanjungpinang, kemarin.
Dilansir dari Antara, masing-masing pendukung pasangan calon berkerumun, berfoto, sembari meneriakkan nama masing-masing kandidat pilkada. Mereka berada di ruang tunggu para tamu.
Puluhan aparat kepolisian yang berjaga berupaya terus memperingatkan mereka untuk tetap menaati protokol kesehatan dengan menggunakan masker secara tepat dan tidak berkerumun. Namun imbauan tersebut tidak dihiraukan massa yang larut dalam euforia seusai pencabutan nomor urut.
Baca juga: Ini Saran PB IDI untuk Penyelenggara Pilkada Serentak 2020
"Apapun alasannya, sudah sepatutnya bahwa wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat betul-betul dapat melindungi rakyatnya, keselamatan rakyatnya. Sehingga, semua pesta demokrasi bisa dijalankan dengan baik," kata Wiku.
Keputusan agar pilkada tetap dilanjutkan disesalkan karena diambil di tengah desakan berbagai pihak agar pilkada ditunda untuk sementara waktu.
Kekhawatiran akan munculnya klaster penularan virus corona baru di tengah tahapan penyelenggaraan pilkada, tentu bukan tanpa alasan.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebelumnya mencatat bahwa terdapat 243 pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan bakal pasangan calon dan tim pendukungnya saat mendaftarkan diri ke kantor KPU daerah pada 3-5 September lalu.
Baca juga: Dugaan soal Tak Ditundanya Pilkada 2020, dari Kepentingan Petahana hingga Mahar Politik
Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengungkapkan, perhelatan pilkada seharusnya dipahami sebagai penghormatan demokrasi demi kepentingan publik. Dalam hal ini, kepentingan yang dimaksud yatu agar masyarakat terlindungi dari bahaya Covid-19, sehingga sebaiknya pilkada ditunda.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Helmy Faishal Zaini menilai, keselamatan nyawa manusia harus menjadi patokan dasar dalam pengambilan keputusan. Apalagi, saat ini angka penularan kasus Covid-19 kian meningkat.
Kondisi itu diperparah dengan ketidakdisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan, seperti menggunakan masker, menjaga jarak, serta menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
"Kalau kita melihat kondisi sekarang, PBNU memandang penyelenggaraan Pilkada 9 Desember 2020 kalau mau dipaksakan dengan model keteledoran kita sekarang, maka dalam pandangan PBNU hendaknya kita semua punya alternatif baru untuk lakukan penundaan," kata Helmy, Rabu (23/9/2020).
Baca juga: Bawaslu Sebut Pengaturan Protokol Kesehatan Pilkada Mentok di Undang-undang
Sementara itu, pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan menduga, ada beberapa faktor yang menyebabkan pemerintah dan DPR tetap memutuskan Pilkada 2020 diselenggarakan di tengah situasi pandemi.
Mulai dari adanya kepentingan petahana, kepentingan partai politik, kepentingan pengusah, dorongan masyarakat, hingga ada kandidat yang diunggulkan oleh pengambil kebijakan.
Adapun Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih menyayangkan, keputusan dilanjutkannya pilkad diambil tanpa menghadirkan unsur ahli kesehatan di dalamnya.
Ia pun berharap para penyelenggara pemilu dapat benar-benar mencegah munculnya klaster baru Covid-19.
Baca juga: Catatan Rekor Covid-19 di Indonesia dan Gelaran Pilkada sebagai Salah Satu Penyebabnya
Di sisi lain, sejumlah larangan yang telah diatur di dalam peraturan KPU yang beru benar-benar dipatuhi oleh pasangan calon dan tim suksesnya.
Penyelenggara pemilu diharapkan dapat benar-benar menjatuhkan sanksi bila mendapati adanya pelanggaran terhadap aturan yang telah dibuat. Hal itu semata-mata demi melindungi masyarakat di dalam proses Pilkada.
"Perang melawan Covid-19 tidak bisa kita lakukan sendiri. Kami harapkan komitmen seluruh masyarakat bersama calon kepala daerah untuk betul-betul bisa melindungi masyarakat di dalam proses Pilkada kedepan," kata Wiku.
Namun, sanksi yang telah diatur di dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2020 tentang Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19 dinilai masih terlalu lemah.
Baca juga: Pakar: Idealnya, Presiden Keluarkan Perppu Pilkada...
Pasalnya, mayoritas sanksi yang diatur hanya berupa peringatan tertulis. Tidak ada aturan yang lebih tegas yang dapat diterapkan bagi pelanggar protokol kesehatan.
"Saya kira terkait sanksi ini juga sangat lembek di PKPU ini," kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus.
Lembeknya sanksi, menurut anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin, karena penyusunan PKPU tidak bisa keluar dari koridor Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Di dalam beleid tersebut tidak diatur mengenai protokol kesehatan pilkada di masa pandemi.
Menurut dia, jika memang ingin memberikan kekuasaan kepada penyelenggara pemilu untuk memberikan sanksi yang lebih tegas, idealnya perlu diterbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang mengatur tentang protokol kesehatan itu sendiri.
Baca juga: IDI Sayangkan Unsur Kesehatan Tak Dilibatkan dalam Rapat Komisi II DPR tentang Pilkada
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.