JAKARTA, KOMPAS.com - Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 menjadi polemik di tengah meluasnya pandemi Covid-19.
Sejumlah pihak mendesak agar Pilkada ditunda karena khawatir terhadap ancaman penularan virus corona.
Desakan ini bukan tanpa alasan. Meski ada aturan tentang protokol kesehatan di Pilkada, pada praktiknya terjadi pelanggaran terhadap aturan tersebut.
Sejumlah aturan yang dirancang pun dinilai tidak tegas dan membuka peluang penyebaran virus corona.
Bahkan, meski tahapan penyelenggaraan Pilkada belum sampai setengah jalan, kini sejumlah penyelenggara dinyatakan tertular Covid-19.
Baca juga: Pemerintah Kaji Dua Opsi untuk Perppu Pilkada 2020
Berikut merupakan rangkuman soal belum kokohnya aturan, termasuk belum kompaknya aparat, untuk penyelenggaran Pilkada Serentak 2020.
1. Pelanggaran protokol kesehatan
Sebagai penyelenggara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebenarnya telah mengatur agar setiap tahapan Pilkada Serentak 2020 dilaksanakan dengan protokol kesehatan.
Dalam hal pendaftaran peserta misalnya, Pasal 49 Ayat (3) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 menyebutkan bahwa yang boleh hadir saat pendaftaran adalah ketua dan sekretaris partai politik dan bakal pasangan calon, serta bakal pasangan calon perseorangan.
Namun, nyatanya, bakal calon kepala daerah hadir dengan iring-iringan massa dalam jumlah besar.
Baca juga: Pengamat: Perppu Nomor 2 Tahun 2020 Memungkinkan Pilkada Ditunda
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat, selama masa pendaftaran peserta Pilkada 4-6 September lalu, terjadi 243 dugaan pelanggaran terkait aturan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Atas peristiwa ini, para pemangku kepentingan justru saling melempar persoalan.
Sebagai pengawas, Bawaslu menyebut bahwa kerumunan saat masa pendaftaran merupakan tanggung jawab kepolisian.
"Itu pelanggaran keamanan. Polisi yang bertanggung jawab," kata Fritz kepada Kompas.com, Jumat (4/9/2020).
Fritz mengatakan, Bawaslu berwenang dalam melakukan pengawasan, teguran, serta saran dan perbaikan ketika terjadi kerumunan massa saat pendaftaran.
Baca juga: Mendagri Kirim Surat ke KPU, Tak Setuju Konser dan Rapat Umum di Pilkada 2020
Sehingga, jika terjadi kerumunan, Bawaslu akan menyampaikan kepada pihak kepolisian untuk kemudian ditindaklanjuti aparat keamanan.
"Bawaslu menyampaikan kepada kepolisian. Bukan di ranah Sentra Gakumdu (Penegakkan Hukum Terpadu antara Bawaslu, Kejaksaan Agung, Kepolisian)," ujar Fritz.
KPU pun mengaku memiliki kewenangan terbatas sehingga tak bisa menindak kerumunan massa saat pendaftaran.
"Memang kalau untuk memberikan sanksi, KPU tidak bisa mendiskualifikasi (bakal paslon) akibat ada kerumunan massa," ujar Raka Sandi kepada wartawan, Selasa (8/9/2020).
"Karena UU yang dipakai untuk penyelenggara pilkada ini adalah UU Nomor 10 Tahun 2016, yang dibuat sebelum pandemi," lanjutnya.
Baca juga: Sekjen PDI-P Nilai PIlkada Tak Bisa Ditunda meski Ada Pandemi Covid-19
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono mengatakan, sesuai bunyi PKPU Nomor 6 Tahun 2020 khususnya Pasal 11 Ayat (2), pihak yang melanggar protokol kesehatan Pilkada akan mendapat teguran dari KPU.
Namun, jika dengan teguran pelanggaran protokol kesehatan tetap terjadi, Pasal 11 Ayat (3) memberi kewenangan kepada KPU dan Bawaslu untuk menentukan sanksi yang akan dikenakan bagi pihak pelanggar.
Sanksi tersebut bisa berupa administrasi maupun pidana.
Dalam hal diputuskan penjatuhan sanksi pidana, maka kepolisian berwenang untuk menindaklanjuti.
Kendati demikian, Awi menyebut, sebagaimana arahan Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis beberapa waktu lalu, proses hukum terhadap bakal pasangan calon yang diduga terlibat kasus pidana untuk sementara waktu akan ditunda.
Baca juga: Sekjen MUI: Kalau Pilkada Perparah Covid-19, Lebih Baik Ditunda
Kecuali, tindak pidana pemilu dan kasus tindak pidana yang melanggar keamanan negara.
Menurut Awi, dalam penindakan yang dilakukan aparat kepolisian, penegakan hukum adalah upaya terakhir. Polisi, kata dia, mengedepankan upaya preventif dan preemtif, serta menerapkan prinsip kehati-hatian.
"Jadi memang kita dalam hal ini kehati-hatian juga kita jaga jangan sampai institusi polri ini terseret ke ranah politik," kata Awi di Graha BNPB, Kamis (10/9/2020).
2. Ketegasan aturan