Kebencian dan tuduhan tanpa dasar ke pihak lain sebagai komunis atau PKI adalah manifestasi atau ungkapan dari spirit politik kebudayaan anti-komunis yang mengerak dan mengarat dalam superego para perajin itu.
Bahkan, tuduhan dan penghubungan aneka peristiwa tersebut merupakan upaya memapankan dan mengamankan superego agar tetap berkarat oleh anasir-anasir kebencian dan politik anti-komunis.
Cara kerja superego anti-komunis tak mengandung rasionalitas. Ketiadaan rasionalitas itu karena superego berisi keyakinan dan sistem nilai anti-komunis serta phobia komunis, yang ditanamkan secara sepihak oleh para pemegang otoritas ke dalam diri orang-orang yang tak memiliki atau kekurangan otoritas diri.
Penanaman sepihak itu melahirkan ilusi dan phobia bahwa komunis dan PKI sudah bangkit lagi. Padahal tidak ada fakta dan argumentasi yang koheren-korespondensial mengenai kebangkitan komunis dan PKI di Indonesia.
Bahaya dari cara kerja superego anti-komunis secara sosial-politik adalah terjadi segregasi sosial dan praktik politik penuh kebencian dalam kehidupan bersama (publik) negeri ini. Hal itu juga menjauhkan politik dari tujuan dasarnya yakni sebagai upaya bersama warga bangsa ini untuk mewujudkan Pancasila demi kebaikan dan kesejahteraan bersama.
Superego yang demikian juga membelokkan kritik terhadap pengambil kebijakan publik menjadi kebencian terhadapnya.
Berpolitik secara rasional mesti diupayakan terus-menerus. Politik mesti dikembalikan ke makna dasar dan tujuan utamanya: upaya bersama untuk mewujudkan Pancasila. Dengan demikian, Pancasila menjadi sesuatu yang konkret dalam cara berpolitik setiap warga negara bangsa Indonesia.
Dalam konteks modus operandi superego anti-komunis yang terus berlangsung, politik rekonsiliasi merupakan salah satu jalan tempuh agar makna dasar dan tujuan utama politik tersebut dapat beroperasi secara konkret.
Peristiwa pada dini hari 30 September 1965 dan perburuan dan pembunuhan sepihak terhadap warga Indonesia yang dilabel sebagai komunis setelah 1965, merupakan luka sejarah yang mendera para warga negara-bangsa Indonesia.
Jika seseorang sadar sebagai warga negara-bangsa Indonesia, ia sadar juga bahwa ada luka sejarah itu yang menderanya. Dalam kesadaran yang demikian, antagonisme politik bukanlah hal yang tepat. Kawan-lawan politik adalah terminologi yang buruk dalam langgam politik Indonesia.
Sebaliknya, politik rekonsiliasi adalah mungkin. Menempuh jalan politik rekonsiliasi memerlukan kesiapsediaan mentrasformasi diri politis. Transformasi mewujud dalam bentuk: mengubah cara padang, membersihkan superego dari anasir-anasir kebencian dan dendam. Jalan politik ini mungkin karena setiap warga mempunyai kapasitas untuk mentransformasi diri secara politis.
Transformasi diri politis memerlukan pula kehendak yang kuat untuk mengolah diri sepanjang hidup. Pengolahan diri melalui tindakan-tindakan ini: pengakuan akan kesalahan, kesediaan diri menerima sanksi, permohonan maaf, dan janji untuk tak mengulangi kesalahan (bdk., Charles L. Grisworld, 2007). Inilah panggilan politis setiap warga negara.
Semua tindakan itu mengantar warga menjadi manusia publik: pribadi yang mampu berpolitik Pancasila. Dalam berpolitik Pancasila, setiap gerak dialektis politik bermuara pada sistesis politik, yakni pembaharuan terus-menerus demi kebaikan dan kesejahteraan bersama.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.