DUA sahabat sejati telah melintasi kurun waktu 40 tahun: Jusuf Kalla (JK) dan Jakob Oetama (JO).
Persahabatan keduanya tidak pernah pasang surut, mengikuti pergantian musim politik. Persahabatan mereka tidak pernah terimbas oleh terpaan taufan sosial politik negeri kita. Kian hari, kian solid dan kental persahabatan itu.
Pada 9 September 2020, pukul 13.05, JO menghadap pada Ilahi. Sahabatnya, JK, sangat sedih.
Baca juga: Jakob Oetama, UGM, dan Jurnalisme Makna
Sejam setelah kepergian JO, Sofyan Wanandi menelpon dan meminta saya ke rumah JK di sore hari.
Pasalnya, JK sudah telanjur terikat janji ke Makassar esok harinya, mengikuti Dies Natalis Universitas Hasanuddin, dan akan menyerahkan bantuan keluarga Kalla berupa gedung olahraga ke universitas tersebut.
Semua perencanaan dan acara sudah tersusun rapi. Tiba-tiba, JK harus menjadi inspektur upacara di hari pemakaman JO esok harinya di Taman Makam Pahlawan, Kalibata.
Begitu kami bertiga bertemu, saya pun langsung angkat bicara, “Bapak pasti tidak jadi ke Makassar besok kan?
“Iya, kita harus mengutamakan sahabat kita, Pak JO,” kata JK.
Saya menyambung lagi, “Pak JK, Dies Natalis adalah acara rutin tiap tahun. Bapak bisa mengikutinya lagi tahun depan. Acara penyerahan sumbangan gedung, bisa ditunda kapan saja Pak. Namun, acara penyerahan jenazah sahabat Bapak ke pangkuan Ilahi, sama sekali tidak bisa ditunda."
"Penyerahan jazad sahabat Bapak itu hanya boleh dilangsungkan besok hari, bukan di kesempatan lain, dan tidak akan terulang lagi,” kata saya.
“Karena itu, kita batal ke Makassar. Pak Jakob adalah tokoh besar dan panutan bangsa kita. Ia sahabat saya berpuluh tahun lamanya. Saya mengutamakan almarhum,” jawab JK.
Lalu, saya dan Sofyan Wanandi pun mengingatkan JK bahwa di saat acara pemakaman esok harinya, udara sangat panas di pemakaman.
Kami berdua sepakat untuk mengenakan pakaian tipis saja, baju batik. JK langsung menimpali, “Saya harus pakai jas lengkap untuk menghormati sahabat saya itu. Bukan hanya karena saya inspektur upacara,” sambung JK lagi.
Baca juga: Tidak Hanya soal Jurnalistik, Jakob Oetama Pun Dinilai Berjasa dalam Dunia Pendidikan
Tapi, kata Sofyan Wanandi, Pak JK akan kepanasan, apalagi di ruang terbuka yang langsung kena sengatan matahari.
“Kalau persahabatan bisa kita pelihara berpuluh-puluh tahun, mengapa menahan udara panas beberapa puluh menit saja, kita tidak bisa. Saya akan pakai jas lengkap untuk mengantar sahabat saya yang terakhir kali,” sambung JK lagi.
Di mana semen perekat di antara kedua sahabat itu? Bukankah mereka memiliki latar belakang yang berbeda dalam banyak hal?
Jawabannya ada pada pangkalan, tempat mereka berdua, memandang hamparan luas bangsa ini.
Keduanya selalu digelisahkan oleh ketimpangan ekonomi bangsa kita yang mereka berdua yakini, bila tidak ditutup cepat, maka dimensi sosial politik bisa muncul dan menjadi masalah besar.
Kedua sahabat sejati itu, selalu beriringan dalam pangkalan pendaratan yang sama bahwa kemajemukan bangsa ini harus dikelola dengan baik agar ia tetap menjadi mosaik indah. Bukan sumber masalah.
Dalam perspektif ini, JK dan JO melihat kemajemukan bangsa, sepelik apa pun masalahnya, pasti bisa diselesaikan, selama dimensi keadilan bisa dijaga.
Hulu masalah bangsa kita ada pada rasa keadilan itu. JK dan JO meyakini ini. Maka, keduanya pun selalu sensitif dengan agenda keadilan tersebut.
Kesamaan pandangan dan visi inilah yang mengawetkan persahabatan JK dan JO. Agenda rutin tiap tiga bulan sarapan pagi bareng, adalah ajang di mana keduanya saling menukar dan mengisi.
Mereka saling mencari dan merindukan untuk berbicara, terutama hal-hal yang menjadi isu nasional. Dalam berdiskusi, JO lebih banyak mendengar daripada berbicara.
JK lebih acap menguraikan latar belakang sesuatu yang digelisahkan keduanya itu. Namun, di akhir percakapan, JO selalu menutup dengan membingkai persoalan yang dipercakapkan kedua sahabat itu.
Baca juga: Sofjan Wanandi Kenang Jakob Oetama: Saya Dianggap Adiknya
Beberapa saat sebelum berangkat ke pemakaman, JK, Sofyan Wanandi, dan saya, masih sempat berbicara tentang ketokohan dan jasa JO buat bangsa ini.
Yang jelas, JK sangat mengagumi sahabatnya itu dalam hal komitmen mendidik bangsa kita untuk hidup di tengah kemajemukan. Bagi JK, sahabatnya itu adalah teladan dalam hal moderasi.
Malah, JK meminta kami untuk tetap berkomunikasi dengan anak-anak Kompas yang ditinggalkan JO, agar misi Kompas sebagai jangkar bangsa, agar perahu kebangsaan ini tidak dioleng ke kiri dan ke kanan, tetap dipelihara.
Suatu saat, ketika JK masih menjadi Wakil Presiden, tiba-tiba Sofyan Wanandi menyampaikan bahwa JO minta waktu untuk bertemu.
Di tengah agenda yang menggunung dan sudah terjadwal jauh sebelumnya, JK langsung meminta stafnya untuk menunda sebagian acaranya dan menyiapkan waktu khusus untuk menerima JO.
Semasa hidup JO, sahabatnya, JK, selalu menyiapkan waktu untuknya. Setelah pergi pun, JK tetap menyiapkan waktu buat sahabatnya, JO.
Ia menunda yang lain, demi mengantar sahabatnya itu. Dan bukankah ini yang disebut persahabatan sejati?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.