Kejutan ini ditandai dengan hadirnya kegelisahan yang dirasakan seseorang atau masyarakat ketika beralih ke lingkungan kultur yang berbeda (dalam konteks ini era digital) serta munculnya disorientasi personal terhadap pengalaman baru dalam memanfaatkan teknologi (Aribowo, 2017).
Masyarakat Telematika (Mastel) pada tahun 2017 melakukan survei tentang "Wabah Hoaks" yang hasilnya menyebutkan bahwa saluran yang paling banyak digunakan dalam penyebaran hoaks adalah media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, Path) yang mencapai 92, 40 persen, disusul oleh aplikasi chatting (WhatsApp, Line, Telegram) sebanyak 62,80 persen dan melalui situs web sebanyak 34,90 persen.
Adapun jenis hoaks yang paling banyak diterima masyarakat adalah masalah sosial politik, yakni sebanyak 91,80 persen, SARA sebanyak 88,60 persen dan kesehatan sebanyak 41,30 persen (Christiany Juditha dalam Jurnal Pikom Vol. 19 No. 1 Juni 2018)
Dalam kasus Ciracas, menurut hasil penyelidikan, terungkap bahwa salah satu alasan terjadinya penyerangan adalah hoaks yang disebar oknum TNI AD yang berisi informasi yang dicerna rekan-rekannya menggangu jiwa korsa mereka.
Informasi yang diterima tanpa diolah menjadi pemantik atau stimulus fatal terjadinya respon yang merusak. Ditambah kecepatan dan mudahnya informasi menyebar di antara kelompok mereka.
Kita mengetahui bahwa media konvensional yang selama ini menjadi sumber informasi masyarakat adalah media cetak, media elektronik dan media online.
Pada lembaga media resmi ini telah terjadi proses pengolahan informasi menjadi sebuah berita yang layak untuk disampaikan kepada masyarakat.
Proses ini melalui berbagai tahap di redaksi seperti cek dan cek ulang serta cover both side, informasi diolah menjadi berita yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Walau saat ini media sosial dan berita online menjadi salah satu sumber informasi masyarakat dan mulai menggusur media konvensional.
Menurut Direktur The Political Literacy Institute dan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto dalam artikelnya pada harian Republika menulis, kata kunci dalam memahami hoaks adalah penipuan publik.
Pembeda hoaks dengan penipuan lainnya adalah pada karateristiknya yang menjangkau khalayak luas, populer, dan masif.
Namun, mengapa masyarakat masih mengkonsumsi berita bohong padahal pilihan berita dari banyak media mudah diakses. Inilah yang menarik untuk didiskusikan.
Hoaks sangat subur di media sosial dimana setiap individu bisa mengakses dengan mudah.
Materi hoaks mudah diterima serta mudah pula disebar. Naluri ingin tahu manusia dapat menjadi penyebab masyarakat mudah mengonsumsi hoaks.
Rasa ingin tahu ini memotivasi individu untuk mencari-cari sebuah informasi yang menjadi ketertarikannya. Oleh sebab itu hoaks selalu seputar kejadian di sekitar kita.