JAKARTA, KOMPAS.com - Amien Rais dan kawan-kawan kembali mengajukan permohonan pengujian Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 ke Mahkamah Konstitusi (MK), setelah sebelumnya mencabut gugatan terhadap undang-undang yang sama.
UU Nomor 2 Tahun 2020 berisi tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-undang.
Dipantau melalui laman resmi MK RI, gugatan tersebut dimohonkan pada Rabu (9/9/2020).
Selain Amien, gugatan itu juga dimohonkan oleh sejumlah pihak, seperti mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Sri Edi Swasono, hingga Mantan Penasihat KPK Abdullah Hahemahua.
Baca juga: Amien Rais Dkk Cabut Gugatan Uji Materi UU Penanganan Corona di MK
Anggota Tim Kuasa Hukum Amien, Ahmad Yani, menyebut, pihaknya melayangkan gugatan baru lantaran ada sejumlah nama pemohon yang direvisi.
"Ada yang beberapa (nama pemohon) di-drop. Ada yang kemarin ikut gugat sekarang sudah enggak ikut gugat," kata Yani kepada Kompas.com, Kamis (10/9/2020).
Selain itu, Yani menyebut, dalam gugatan baru pihaknya juga menambahkan pasal yang dipersoalkan.
"Substansi enggak beda, hanya kita menambahkan satu pasal lagi yaitu Pasal 6," ujarnya.
Dalam gugatannya, Amien dkk menyoal UU Nomor 2 Tahun 2020 secara formil dan materil.
Dari segi formil, pemohon memandang bahwa UU tersebut bertentangan dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UUD 1945.
Selain itu, pemohon juga berpandangan bahwa langkah DPR menyetujui Perppu tanpa melibatkan DPD bertentangan dengan Pasal 22 D Ayat (2) UUD 1945.
Secara materil, pemohon menyoal Pasal 2 Ayat (1) huruf a angka 1, 2 dan 3, Pasal 27, serta Pasal 28.
Baca juga: UU Penanganan Covid-19 Kembali Digugat ke MK, Ini Pasal yang Dipersoalkan
Pasal 2 menetapkan batasan defisit anggaran di atas 3 persen PDB tanpa adanya batas maksimal, dan mengikat UU APBN sampai tahun anggaran 2022.
Dengan adanya norma ini, UU 2/2020 dianggap menghilangkan fungsi legislasi dan budgeting DPR. Pasal tersebut juga dinilai melanggar ketentuan konstitusi yang menyebut bahwa UU APBN bersifat periodik atau harus ditetapkan setiap tahun.
Kemudian, Pasal 27 UU 2/2020 pada pokoknya mengatur bahwa bahwa pemerintah dan pejabat yang menjalankan kebijakan pemulihan ekonomi tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata.