JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Ratna Dewi Pettalolo pesimistis angka bakal pasangan calon tunggal Pilkada 2020 menurun hingga akhir masa perpanjangan pendaftaran peserta Pilkada.
Bawaslu mencatat, terdapat 28 daerah yang berpotensi memunculkan bakal pasangan calon tunggal.
Di daerah tersebut dilakukan perpanjangan masa pendaftaran peserta selama 3 hari.
"Kami mungkin agak pesimis ya akan ada pengurangan dari angka yang sudah ada saat ini," kata Ratna dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (9/9/2020).
"Karena sepertinya memang kehadiran pasangan calon tunggal ini adalah sebuah desain yang sangat luar biasa dari elite-elite partai politik sehingga semua dukungan mengarah kepada satu pasangan calon yang melahirkan pasangan calon tunggal," tuturnya.
Baca juga: Bawaslu: Bakal Paslon Tunggal Pilkada 2020 Tersebar di 28 Kabupaten/Kota
Menurut Ratna, dari waktu ke waktu angka pasangan calon tunggal di gelaran Pilkada kian meningkat.
Pada Pilkada 2015 pasangan calon tunggal hanya didapati di tiga daerah. Jumlah itu meningkat menjadi sembilan paslon di Pilkada tahun 2017.
Pada Pilkada 2018 angka itu kembali naik menjadi 16 pasangan calon.
Umumnya, mereka yang maju sebagai pasangan calon tunggal memiliki akses sumber daya yang besar, baik sumber daya uang maupun kekeuasaan.
Dengan adanya akses terhadap sumber daya, figur tersebut mampu "memborong" dukungan atau rekomendasi partai politik untuk maju di Pilkada.
"Sehingga menutup ruang ruang dari pasangan calon lain untuk bisa melakukan akses yang sama dan kemudian bisa ikut di dalam kompetisi sebagai kontestan di pemilihan tahun 2020," ujar Ratna.
Baca juga: KPK Temukan Refocusing Anggaran Janggal di Daerah Petahana Maju Pilkada
Ratna mengatakan, potensi calon tunggal cenderung memunculkan potensi pelanggaran aturan pemilihan seperti praktik mahar politik.
Bukan tidak mungkin bakal paslon mengkondisikan agar mayoritas partai politik mendukung pencalonannya di Pilkada demi menutup peluang munculnya pasangan calon lain.
Selain itu, lanjut Ratna, di daerah yang didapati calon tunggal juga rawan terjadi politik uang.
"Misalnya untuk calon tunggal yang kemudian juga plus petahana, akses untuk mobilisasi pemilih, kemuduan melakukan intimidasi, memanfaatkan sumber daya jabatan yang dimiliki baik fasilitas jabatan, anggaran, yang kemudian bisa digunakan untuk politik uang," tuturnya.
Baca juga: Kemendagri: 21 Daerah Belum Selesaikan Anggaran Pilkada untuk KPU