Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Opsi Sanksi untuk Calon Kepala Daerah Pelanggar Protokol Kesehatan

Kompas.com - 09/09/2020, 07:04 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian kembali memberikan teguran kepada para kepala daerah petahana yang tidak mematuhi protokol kesehatan saat menjalani tahapan Pilkada 2020.

Hingga Selasa (8/9/2020), jumlah kepala daerah yang ditegur Mendagri tercatat sebanyak 69 orang. 

Menurut Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik, kepala daerah yang mendapat teguran karena melanggar protokol kesehatan pada saat tahapan Pilkada terdiri dari seorang gubernur, 35 bupati dan empat wali kota. Kemudian 25 wakil bupati dan empat wakil wali kota.

Akmal mengatakan, teguran ini sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin Dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19).

Ia menuturkan, tidak menutup kemungkinan, teguran seperti ini akan terus bertambah berdasarkan data dan laporan yang masuk ke Kemendagri.

"Sehingga pada tahapan selanjutnya, kepala daerah harus benar-benar memperhatikan protokol kesehatan dan tidak melakukan aktifitas yang memungkinan timbul kerumunan massa," tutur dia.

Pelanggar Protokol

Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), mencatat ada 243 dugaan pelanggaran protokl Covid-19 yang dilakukan bakal calon kepala daerah selama dua hari pendaftaran Pilkada.

Data itu dihimpun Bawaslu hingga Sabtu (5/9/2020).

Umumnya, para bakal calon itu diduga melanggar aturan karena membawa massa saat mendaftar ke KPU.

Staf Khusus Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Bidang Politik dan Media Kastorius Sinaga mengatakan, ada 260 bakal paslon yang melanggar protokol kesehatan saat mendaftarkan diri sebagai peserta Pilkada 2020.

"Dari data kejadian pendaftaran kemarin, dari sekitar 650 bakal paslon yang mendaftarkan diri, kami monitor ada sekitar 260 bakal paslon yang melanggar (protokol kesehatan)," ujar Kastorius dalam keterangan tertulisnya, Selasa (8/9/2020).

Namun, Kasto tidak merinci bakal paslon kepala daerah mana saja yang terbukti melanggar protokol kesehatan.

Opsi

Sebelumnya, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono meminta pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu mempertimbangkan sanksi yang lebih tegas kepada bapaslon yang kedapatan melanggar protokol kesehatan.

Misalnya, dengan mencoret status kepesertaan mereka di dalam perhelatan kontestasi daerah itu.

"Jadi sanksi itu harus tegas. Kalau dua tiga kali menyalahi aturan (protokol kesehatan) harusnya gugur pencalonan itu," ujar dia.

Baca juga: Kemendagri: Tak Ada Toleransi bagi Pelanggar Protokol Kesehatan di Pilkada

"Kalau enggak gugur, ya sudah akan diulang-ulang oleh calonnya (kepala daerah)," lanjut Miko.

Sementara Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, KPU tidak bisa mendiskualifikasi bakal paslon yang menyebabkan kerumunan massa dalam tahapan pilkada.

Penyebabnya, kata dia, KPU harus bertindak sesuai dengan undang-undang (UU).

"Memang kalau untuk memberikan sanksi, KPU tidak bisa mendiskualifikasi (bakal paslon) akibat ada kerumunan massa," ujar Raka Sandi kepada wartawan, Selasa (8/9/2020).

"Karena UU yang dipakai untuk penyelenggara pilkada ini adalah UU Nomor 10 Tahun 2016, yang dibuat sebelum pandemi," lanjutnya.

Namun, kata dia, jika UU Pilkada belum mengatur soal itu, ada dasar hukum lain yang bisa digunakan.

Misalnya saja, dalam UU tertib lalu lintas mengatur adanya larangan konvoi yang bisa digunakan di setiap pemilu dan pilkada.

Selain itu, ada aturan UU yang mengatur soal ketertiban pada masa bencana.

"Jadi ada atau tidak pilkadanya, UU itu tetap berlaku. Sehingga, kami mengimbau bakal paslon, pendukung, dan parpol bisa menjadi contoh bagi masyarakat luas dengan patuh protokol kesehatan," katanya.

Sementara itu, Kastorius mengatakan, Kemendagri sedang mengkaji sanksi menunda pelantikan mereka yang melanggar protokol kesehatan.

Ini adalah sanksi yang tengah digodok Kemendagri bersama lembaga penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Bawaslu.

Menurut Kasto, pemerintah mengangkat opsi ini untuk memastikan keseriusan paslon, termasuk stakeholder lainnya, dalam komitmen mencegah dan membantu penyelesaian penanganan wabah Covid-19 di Tanah Air.

Opsi menunda pelantikan ini mengemuka serta diklaim mendapatkan sambutan positif dalam rapat koordinasi antara Kemendagri dengan KPU dan Bawaslu.

Kastorius melanjutkan, selain opsi menunda pelantikan, ada opsi lain, yakni menunjuk pejabat pusat sebagai pejabat sementara (Pjs) Kepala daerah.

"Ini dilakukan jika kepala daerah tersebut terbukti melanggar protokol kesehatan secara signifikan di masa pilkada atau kurang optimal dalam mendukung pelaksanaan Pilkada serta penegakan protokol kesehatan dan penanganan Covid-19," tambah Kasto.

Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik, ada dasar hukum soal penundaan pelantikan bakal calon kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada.

Baca juga: Kemendagri Sebut Ada Dasar Hukum Tunda Pelantikan Kepala Daerah Terpilih yang Langgar Protokol Kesehatan

"Sudah ada diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah," ujar Akmal, di Jakarta, Selasa (8/9/2020).

Selain itu, penundaan pelantikan pun bisa berdasarkan PP Nomor 12 Tahun 2017 tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah.

Namun, menurutnya saat ini cara-cara persuasif masih tetap dikedepankan oleh pemerintah.

"Kita tetap mengedepankan pendekatan persuasif," tambahnya.

Satgas minta KPU tegas

Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito memberikan tanggapan atas potensi terjadinya klaster penularan Covid-19 dalam tahapan Pilkada 2020.

Menurut Wiku, dibutuhkan ketegasan dari penyelenggara pilkada untuk mencegah potensi terjadinya klaster.

"KPU dan KPUD harus menegakkan aturan yang dibuatnya terkait dengan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan pilkada," ujar Wiku ketika dikonfirmasi Kompas.com, Selasa (8/9/2020).

Baca juga: KPU Diminta Tegas Tegakkan Protokol Kesehatan atau Tunda Pilkada

Presiden Joko Widodo sebelumnya menyoroti munculnya klaster pilkada, yakni klaster penularan Covid-19 yang disebabkan oleh aktivitas Pilkada serentak 2020. Ia meminta munculnya klaster ini menjadi perhatian semua pihak.

"Hati-hati klaster pilkada ini. Agar ini selalu diingatkan," kata Jokowi saat memimpin sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (7/9/2020).

"Saya minta ini Pak Mendagri urusan yang berkaitan dengan klaster Pilkada ini betul-betul ditegasi betul. Diberikan ketegasan betul," sambungnya.

Jokowi pun meminta Polri untuk turut mengawasi penerapan protokol kesehatan selama pelaksanaan pilkada serentak 2020.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tak Ada Anwar Usman, MK Diyakini Buat Putusan Progresif dalam Sengketa Pilpres

Tak Ada Anwar Usman, MK Diyakini Buat Putusan Progresif dalam Sengketa Pilpres

Nasional
Gibran Dampingi Prabowo ke Bukber Golkar, Absen Saat Acara PAN dan Demokrat

Gibran Dampingi Prabowo ke Bukber Golkar, Absen Saat Acara PAN dan Demokrat

Nasional
Prabowo: Kita Timnya Jokowi, Kita Harus Perangi Korupsi

Prabowo: Kita Timnya Jokowi, Kita Harus Perangi Korupsi

Nasional
Freeport Indonesia Berbagi Bersama 1.000 Anak Yatim dan Dhuafa

Freeport Indonesia Berbagi Bersama 1.000 Anak Yatim dan Dhuafa

Nasional
Komisi V DPR Apresiasi Kesiapan Infrastruktur Jalan Nasional Capai 98 Persen Jelang Arus Mudik-Balik

Komisi V DPR Apresiasi Kesiapan Infrastruktur Jalan Nasional Capai 98 Persen Jelang Arus Mudik-Balik

Nasional
Pakar: Jadi Subyek yang Dituduh, Mestinya Presiden Dihadirkan pada Sidang Sengketa Pilpres

Pakar: Jadi Subyek yang Dituduh, Mestinya Presiden Dihadirkan pada Sidang Sengketa Pilpres

Nasional
Dukung Prabowo dan Megawati Bertemu, Airlangga Singgung Periode Kritis RI 10 Tahun ke Depan

Dukung Prabowo dan Megawati Bertemu, Airlangga Singgung Periode Kritis RI 10 Tahun ke Depan

Nasional
Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

Nasional
Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

Nasional
Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Nasional
Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Nasional
Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Nasional
Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Nasional
Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Nasional
KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com