JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif) menilai, substansi revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sarat akan kepentingan politik.
Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan Kode Inisiatif, Violla Reininda mengatakan, hasil revisi tersebut hanya menjadikan MK sebagai "kaki tangan" penguasa.
"Terlihat jelas pembentuk undang-undang memiliki iktikad buruk untuk membajak Mahkamah Konstitusi dan menjadikan MK kaki tangan penguasa di cabang kekuasaan kehakiman," kata Violla dalam keterangan tertulis, Rabu (2/9/2020).
"Disahkannya UU Mahkamah Konstitusi memberikan implikasi deteriorasi moralitas berkonstitusi yang serius," ujar dia.
Baca juga: Revisi UU MK Disebut Inkonstitusional, Ini Sebabnya...
Catatan Kode Inisiatif, kata Violla, revisi undang-undang ini berpotensi merenggut independensi MK.
Hal ini tampak dari perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi selama 15 tahun atau hingga usia 70 tahun.
Selain itu, Violla mengatakan, masa jabatan ketua dan wakil ketua MK berpotensi menjadi komoditas untuk ditukarkan dengan amar putusan dan tindakan hakim konstitusi.
"Apalagi, pengaturan tentang jabatan hakim ini tidak dibarengi dengan penguatan pengawasan hakim, pengetatan penegakan kode etik, serta penyempurnaan dan penyeragaman standar rekrutmen hakim konstitusi di setiap lembaga pengusul," tuturnya.
"Telah terang, UU ini potensial berdampak pada kemerdekaan dan keberpihakan hakim konstitusi dalam memutus perkara konstitusional kelak," kata Violla.
Baca juga: Revisi UU MK Dinilai Tak Perkuat Kekuasaan Kehakiman
Dengan demikian, Violla mengatakan, ada potensi hakim konstitusi di masa mendatang diisi dengan calon-calon hakim yang dipertanyakan sebagai negarawan.
Sebab, tidak ada penyempurnaan dan penyeragamn standar rekrutmen hakim di tiap cabang kekuasaan, yaitu MA, DPR, dan Presiden.
"Marwah dan keluhuran MK berpotensi dibajak dengan cara mendudukkan personel hakim konstitusi yang dapat tunduk pada lembaga pemilihnya semata," ujar Violla.
Ia pun mengatakan bahwa pembahasan dan pengesahan UU MK cacat prosedur.
Pembahasannya dilakukan kilat, hanya dalam waktu tujuh hari kerja hingga akhirnya disahkan DPR pada 1 September 2020.
Baca juga: PSHK: Pembahasan Revisi UU MK Secara Cepat dan Tertutup Cederai Semangat Reformasi