JAKARTA, KOMPAS.com - Praktik mahar politik diprediksi masih akan terjadi di gelaran pemilihan kepala daerah (Pilkada 2020).
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Ratna Dewi Pettalolo menyebut, umumnya praktik mahar politik kian meningkat jelang penutupan masa pendaftaran calon kepala daerah.
Para bakal calon kandidat beramai-ramai menyerahkan imbalan kepada partai politik agar mendapatkan rekomendasi parpol untuk mencalonkan diri.
"Saya kira potensi ini akan semakin besar ketika hari-hari terakhir pendaftaran paslon," kata Ratna dalam rapat virtual yang digelar Selasa (1/9/2020).
Baca juga: Bawaslu Kabupaten Semarang Hentikan Kasus Mahar Politik Nasdem
"Karena tentu ini menjadi usaha-usaha keras dari seluruh bakal calon untuk mendapatkan parpol sebagai perahu untuk maju menjadi calon kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota," lanjut dia.
Ratna mengatakan, praktik mahar politik sejatinya dilarang di pilkada.
Larangan tersebut secara eksplisit tertuang dalam Pasal 47 Ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 yang bunyinya, parpol atau gabungan partai dilarang menerima imbalan.
Ada pula Ayat (4) yang menyebut, setiap orang atau lembaga dilarang memberikan imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan pilkada.
Sanksi mahar politik diatur pada Pasal 187B dan Pasal 187C UU yang sama.
Baca juga: Kesulitan Bawaslu Buktikan Mahar Politik di Tengah Pilkada
Bagi parpol yang sengaja menerima imbalan pada proses pencalonan dapat dipidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan serta denda paling sedikit Rp 300 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Sementara, setiap orang atau lembaga yang sengaja memberikan imbalan dalam proses pencalonan, dapat dipidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 60 bulan serta denda minimal Rp 300 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
Meski larangan dan sanksi mahar politik telah diatur jelas, Bawaslu kerap kali kesulitan dalam menangani persoalan ini. Hal ini salah satunya disebabkan karena singkatnya waktu penanganan.
"Memang tidak mudah bagi kita ya karena pertama soal keterbatasan waktu 3+2 (hari waktu penanganan), waktu yang sangat singkat ini tentu tidak mudah proses pembuktian dalam penanganan pelanggaran mahar politik," ucap Ratna.
Baca juga: Penjelasan Partai Nasdem soal Dugaan Mahar Politik di Pilkada Kabupaten Semarang 2020
Kendala lain terkait penanganan pelanggaran ini adalah tertutupnya praktik mahar politik itu sendiri.
Menurut Undang-undang, pihak yang bakal disanksi dari praktik mahar politik adalah pemberi dan penerima.