AKARTA, KOMPAS.com - Komisi Kejaksaan menduga, jaksa Pinangki Sirna Malasari tidak beraksi sendiri dalam membantu Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra lolos dari perkara hukum yang menjeratnya.
Komisi Kejaksaan menduga ada kekuatan besar atau orang yang lebih berkuasa dibanding Pinangki.
"Makanya, diduga ada keterlibatan pihak lain yang lebih kuat dari sekadar oknum jaksa P itu," kata Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak ketika dihubungi Kompas.com, Kamis (27/9/2020).
Baca juga: KPK Didesak Ambil Alih Penanganan Kasus Jaksa Pinangki
Menurut Barita, patut dicurigai ada keterlibatan pihak lebih kuat mengingat posisi Pinangki di Kejaksaan yang tidak memiliki jabatan tinggi atau kewenangan besar.
Sebelum dicopot, Pinangki menjabat sebagai Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan.
"Dia (Pinangki) bukan penyidik, dia bukan orang yang punya kewenangan untuk eksekusi, dia jabatannya eselon IV, bukan jabatan yang memberikan keputusan, tapi kenapa dia bisa membangun komunikasi, foto-foto dengan terpidana buron yang hebat itu (Djoko Tjandra)," ucap dia.
Barita berpandangan, tak menutup kemungkinan orang berkekuatan besar tersebut melindungi Pinangki selama kasusnya bergulir.
Pinangki ditetapkan sebagai tersangka yang diduga menerima suap dari Djoko Tjandra.
Komisi Kejaksaan pun mendorong Kejagung untuk mengusut kasus tersebut hingga tuntas.
"Inilah yang harus dilakukan penyidikan pro-justicia untuk mengungkap semua, siapa yang terlibat di situ, termasuk yang diduga kekuatan besar itu siapa," ucap dia.
Baca juga: Kejagung Dalami Peran Orang yang Kenalkan Pinangki ke Djoko Tjandra
Barita juga meminta Kejagung menangani kasus Pinangki secara transparan.
Menurut dia, hal tersebut perlu dilakukan untuk menjaga kepercayaan publik terhadap negara dalam aspek penegakkan hukum.
Tanggapan Kejagung
Menanggapi hal tersebut, Kejaksaan Agung mengatakan tidak mengenal istilah "kekuatan besar" dalam proses penyidikan suatu kasus.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono mengatakan, penyidik mengungkap kasus tersebut berdasarkan alat bukti yang ada.
"Proses penyidikan tidak ada istilah kekuatan besar, tapi alat bukti yang didapat oleh penyidik, baik itu alat bukti berupa keterangan saksi, surat, keterangan ahli, maupun keterangan tersangka atau petunjuk," kata Hari di Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis (27/8/2020).
Baca juga: Polri: Pinangki Minta Pemeriksaannya di Bareskrim Dijadwal Ulang
Dalam kasus ini, Pinangki dan Djoko Tjandra telah ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya diduga berkonspirasi untuk mendapatkan fatwa dari Mahkamah Agung (MA).
Djoko Tjandra pun dijerat dengan Pasal 5 Ayat 1 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tipikor atau Pasal 5 Ayat 1 huruf b UU Tipikor atau Pasal 13 UU Tipikor.
Djoko sedang menjalani hukuman di Lapas Salemba, Jakarta, atas kasus pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali.
Sementara itu, Pinangki ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung.
Baca juga: Polri Gelar Rekonstruksi Kasus Suap Penghapusan Red Notice Djoko Tjandra
Pinangki diduga menerima uang suap sebesar 500.000 dollar Amerika Serikat atau jika dirupiahkan sebesar Rp 7,4 miliar.
Pinangki pun disangkakan Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 250 juta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.