Egi pun menyoroti transparansi dan akuntabilitas dalam belanja influencer ini.
Menurut dia, publik berhak tau kebijakan apa yang disosialisasikan pemerintah menggunakan influencer.
"Lalu bagaimana pemerintah menentukan bahwa sebuah isu atau kebijakan memang membutuhkan influencer," kata dia.
Selanjutnya, bagaimana pemerintah menentukan individu yang digunakan sebagai influencer.
Baca juga: Soal Unggahan Tagar #IndonesiaButuhKerja, Ardhito Pramono: Saya Musisi, Bukan Buzzer
Terakhir, ia juga mempertanyakan peran instansi kehumasan yang dimiliki pemerintah dengan maraknya penggunaan influencer ini.
"Informasi yang disampaikan oleh para influencer tidak selalu valid, tidak jarang justru menyebarkan misinformasi," kata dia.
Egi menilai tren penggunaan influencer dapat membawa pemerintah pada kebiasaan mengambil jalan pintas.
Misalnya, guna memuluskan sebuah kebijakan publik yang tengah disusun, maka pemerintah menggunakan jasa influencer untuk memengaruhi opini publik.
"Hal ini tidak sehat dalam demokrasi karena berpotensi mengaburkan substansi kebijakan yang tengah disusun dan kemudian berakibat pada tertutupnya ruang percakapan publik," kata Egi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.