Dari lima kombinasi obat penawar, sebut dia, hanya tiga yang disarankan karena memiliki potensi penyembuhan terbesar.
Ketiganya yaitu kombinasi Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline, serta Hydroxychloroquine dan Azithromycin.
Di luar negeri, obat itu diberikan satu per satu kepada pasien. Kemudian, obat itu dikombinasikan oleh Unair menjadi satu obat.
Hasilnya, efektivitas obat itu diklaim mencapai 90 persen. Selain itu, dosis yang dihasilkan lebih rendah dibanding apabila obat diberikan secara tunggal.
Baca juga: Konsorsium Riset Covid-19 Tegaskan, Belum Ada Obat Covid-19 di Dunia
"Setelah kami kombinasikan daya penyembuhannya meningkat dengan sangat tajam dan baik. Untuk kombinasi tertentu sampai 98 persen efektivitasnya," klaim Nasih seperti dilansir dari Antara.
Kendati demikian, Dicky mengingatkan, Unair harus mematuhi kaidah penelitian ilmiah dan menyampaikan hasil risetnya melalui jurnal ilmiah.
Menurut peneliti yang telah 17 tahun terakhir ikut dalam pengendalian berbagai pandemi itu, pengabaian sekecil apapun terhadap aspek transparansi hasil riset obat berdampak merugikan dan berbahaya.
"Pengalaman pandemi sebelumnya menunjukkan bahwa pengabaian terhadap kaidah tersebut akan menjadi masalah besar, salah satunya pelajaran mahal dari pandemi avian flu dan swine flu dalam proses riset Tamiflu," kata Dicky.
Dalam riset tersebut, ia menjelaskan, sejak awal proses periset obat tidak transparan atas hasil riset mereka. Tetapi, hasil riset itu tetap dipaksakan menjadi obat dengan beragam faktor.
Baca juga: Obat Covid-19 Unair Diragukan Pakar, Ini Tanggapan Satgas Covid-19
Barulah pada 2013 dan 2014 ditemukan banyak efek samping yang fatal, yaitu kematian pada anak dan juga gangguan mental dan neurologis.
"Itu sebabnya saya sangat mendorong agar hasil uji klinis obat yang diprakarsai Unair itu dapat diangkat ke dunia ilmiah dan juga dicatatkan dalam clinical trial dunia," kata Dicky.
Sementara itu, anggota Komite Nasional Penilai Obat BPOM Dr Anwar Santoso menyatakan, tahap uji klinis atas sebuah obat tidaklah sesederhana yang dipikirkan.
Penyembuhan suatu penyakit memiliki banyak faktor serta terdapat faktor perancu dan uji klinis dilakukan untuk meminimalkan peranan faktor tersebut.
Oleh karena itu, klaim tanpa dukungan pengujian bisa menimbulkan tersebarnya informasi yang kurang tepat di masyarakat.
"Dampaknya apa? Akan terjadi misinformasi pada masyarakat, ini yang berbahaya. Karena uji klinis harus memberikan bukan hanya 'scientific value' tapi juga 'social value'," tegas ahli jantung di RS Jantung Harapan Kita itu.
Baca juga: Pengembangan Obat Covid-19 Unair Dinilai Tak Lazim, Ini Masukan Pakar