JAKARTA, KOMPAS.com - Plt Ketua Pengurus Harian Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ikhsan Raharjo mengatakan, masih banyak para pekerja yang belum mengetahui RUU Cipta Kerja.
"Ketidaktahuan terhadap RUU Cipta Kerja tidak hanya dialami pekerja kantoran saja, tapi seluruh masyarakat. Padahal mereka semua yang terdampak," kata Ikhsan saat dihubungi, Selasa (18/2020).
Menurut Ikhsan, ketidaktahuan itu disebabkan karena sejak awal draf RUU Cipta Kerja dikerjakan dan disusun secara sembunyi-sembunyi oleh pemerintah.
"Semua dilakukan dikerjakan dalam situasi serba tertutup, itu tidak demokratis," ujarnya.
Baca juga: DPR dan Serikat Pekerja Bentuk Tim Perumus Pembahasan RUU Cipta Kerja
Ikhsan mengatakan, ada beberapa kerugian yang muncul akibat RUU Cipta Kerja. Salah satunya aturan yang menyebabkan pekerja kantoran bisa dikontrak seumur hidup.
Sebab, Pasal 59 ayat 3 terkait perjanjian kerja waktu tertentu, yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dalam RUU Cipta Kerja dihapuskan.
"Kepastian kerja bagi mereka (pekerja) itu tidak ada, karena misalnya ada pasal yang menyatakan soal yang menghilangkan batasan kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), itu semua dihapus, artinya mereka (para pekerja) akan bisa sepanjang hidup menjadi pekerja kontrak," kata Ikhsan.
Menurut Ikhsan, status pekerja kontrak bisa menimbulkan PHK massal, ditambah lagi dengan munculnya Pasal 154 A dalam RUU Cipta Kerja.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa pemutusan kerja bisa dilakukan dengan alasan pengambilalihan, pemisahan, dan efisiensi perusahaan.
"Mereka bisa di PHK kapan saja, itu akan jadi gambaran generasi pekerja kita yang akan datang," ujarnya.
Ikhsan juga mengkritik Pasal 79 dalam RUU Cipta Kerja terkait waktu istirahat pekerja atau hari libur minimal satu hari dalam seminggu.
Menurut Ikhsan, ketentuan tersebut membuat kondisi kerja tersebut akan sangat buruk.
"Kemudian pekerja akan bekerja dalam kondisi kerja yang sangat buruk, nah itu salah satunya ya, jam kerja yang sangat panjang, dan juga terkait hak-hak terutama buat perempuan pekerja juga hilang," ucapnya.
Baca juga: Tolak RUU Cipta Kerja, Kelompok Buruh Akan Kembali Gelar Aksi Demo 25 Agustus
Lebih lanjut, Ikhsan mengatakan, pihaknya tidak hanya menolak klaster ketenagakerjaan saja, tetapi seluruh klaster dalam RUU Cipta Kerja.
"Setelah melihat dari berbagai sektor lingkungan hidup masyarakat adat, agraria ternyata ini semua bermasalah dan kami melihat RUU ini tidak hanya membawa sistem perburuhan Indonesia balik ke zaman kolonial, tapi sistem agraria kita jauh lebih buruk nanti, oleh karena itu, kita bersam GEBRAK menolak RUU ini," pungkasnya.