Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Korban Kasus Kekerasan Seksual Diharapkan Tak Hanya Diam...

Kompas.com - 12/08/2020, 10:44 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus kekerasan seksual yang mengemuka akhir-akhir ini di media sosial maupun media massa ibarat sebuah fenomena gunung es.

Para korban yang sebelumnya memilih untuk diam, kini mulai berani bersuara bahwa mereka telah dilecehkan oleh pelaku.

Langkah ini dinilai cukup positif mengingat pelaku kekerasan seksual seharusnya mendapatkan sanksi yang tegas guna mengantisipasi terulangnya kejadian serupa di kemudian hari.

"Ini hal yang sangat positif. Para korban jangan takut untuk speak up atas kasus kekerasan seksual atau apapun itu yang dialaminya baik secara daring maupun offline," kata Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni seperti dilansir dari Antara, Selasa (11/8/2020).

Baca juga: Marak Kasus Kekerasan Seksual Dinilai Jadi Alasan Urgensi Pengesahan RUU PKS

Selama ini, menurut dia, masih banyak korban kekerasan seksual yang memilih untuk bungkam. Hal itu tidak terlepas dari kekhawatiran atas cap negatif yang mungkin akan diterima oleh para korban dari masyarakat.

Padahal, menurut Sahroni, keterbukaan mereka diharapkan dapat membuka mata masyarakat. Sehingga, publik pun mendukung korban dan menghindari victim blaming.

Hal senada juga disampaikan oleh Pelaksana Harian Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) Ratna Susianawati, dosen Fakultas Psikologi Universitas Surabaya Patrick Humbertus, serta Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Iskandar.

"Banyak yang terjadi tetapi tidak berani melapor. Banyak kasus yang mungkin lebih besar tetapi tertutup," kata Ratna.

Seperti pada kasus fetish kain jarik yang dilakukan tersangka G di Surabaya, Jawa Timur.

Baca juga: Kasus Fetish Kain Jarik, Polisi: Pengakuan Tersangka Ada 25 Korban

Menurut Ratna, kasus ini akhirnya berhasil terungkap setelah salah seorang korban mengungkap hal tersebut melalui media sosial.

Belakangan, sejumlah korban G pun mulai bersuara. Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan Polrestabes Surabaya, G telah melakukan perbuatannya sejak 2015.

Setidaknya, berdasarkan penuturan G, ada 25 orang yang sudah menjadi korban perilaku menyimpang pelaku.

Menurut Ratna, tindakan G merupakan bentuk penyimpangan seksual. Kasus-kasus kekerasan seksual yang di luar nalar umum juga harus diantisipasi untuk melindungi masyarakat, tidak hanya perempuan karena faktanya laki-laki pun bisa menjadi sasaran kekerasan seksual.

"Kasus ini semakin mendorong Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan untuk menjadi payung hukum dalam penanganan kekerasan seksual dari hulu hingga hilir meliputi pencegahan, penanganan, pemulihan korban, dan penegakan hukum yang bisa menimbulkan efek jera," katanya.

Baca juga: Marak Kasus Kekerasan Seksual Dinilai Jadi Alasan Urgensi Pengesahan RUU PKS

Ilustrasi kekerasan seksual. ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN Ilustrasi kekerasan seksual.
Sementara itu, menurut Patrick, kasus kekerasan seksual tak hanya berupa kekerasan dalam bentuk fisik, tetapi juga bisa terjadi dalam bentuk verbal.

Di tengah situasi pandemi Covid-19 seperti yang terjadi pada saat ini, pemerintah telah menerapkan aturan pembelajaran jarak jauh bagi seluruh satuan pendidikan.

Meski interaksi fisik antar siswa akhirnya terbatas, bukan berarti kekerasan seksual tidak bisa terjadi. Seperti salah satu kasus yang terjadi pada sesama siswa di Surabaya.

Baca juga: Menteri PPPA: Upaya Pengesahan RUU PKS Bukti Pemerintah Lindungi Rakyat

Korban diminta pacarnya mengirimkan foto, video tanpa busana, dan telepon seks. Karena kejadiannya terjadi di rumah, pihak sekolah susah menindaklanjuti dan membantu memperjuangkan hak korban.

"Kasus kekerasaan seksual di lingkup relasi satuan pendidikan merupakan fenomena gunung es. Ada tidaknya pandemi, kasus terus terjadi," kata Patrick seperti dilansir dari Kompas.id.

Menurut dia, hukum positif yang ada saat ini masih abstrak dan belum memberikan solusi konkret kepada korban kasus kekerasan seksual.

Misalnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Baca juga: Berkaca dari Kasus di Bintaro, LPSK Ajak Korban Pemerkosaan Berani Melapor

Lain halnya, sebut Patrick, dengan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Ia menilai, RUU ini sebagai ius constituendum atau hukum yang akan ditetapkan memiliki cakupan spesifik, konkret, dan jelas.

Sebagai gambaran, di dalam RUU tersebut, kekerasan seksual meliputi antara lain pelecehan, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi hingga pemerkosaan.

RUU PKS mendesak

Merujuk data LPSK, angka laporan kekerasan seksual yang diterima mereka terus meningkat sejak 2016.

Pada tahun 2016, jumlah permohonan perlindungan dari kasus kekerasan seksual mencapai 66 permohonan. Sedangkan pada 2017 naik menjadi 111 permohonan.

Kenaikan kembali terjadi pada 2018 dan 2019, masing-masing 284 permohonan dan 373 permohonan.

Baca juga: Kementerian PPPA Dorong RUU PKS Masuk Prolegnas 2021 dan Disahkan

Livia pun mengapresiasi jika ada korban yang berani bersuara bahwa mereka telah mengalami kasus kekerasan seksual.

Seperti yang dilakukan oleh AF, korban kekerasan seksual di Bintaro, yang kisahnya viral di media sosial.

"Saya sangat kagum atas keberanian korban yang berjuang mengungkap kasus ini tanpa rasa takut, tentu hal tersebut tidak mudah, apalagi korban juga sempat diancam pelaku," kata Livia melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (11/8/2020).

Massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat melakukan aksi unjuk rasa di Taman Vanda, Bandung, Jawa Barat, Kamis (2/7/2020). Mereka menyuarakan sejumlah aspirasi diantaranya agar pemerintah agar membuka pembahasan RUU PKS, menarik Omnibus Law dan memberikan pendidikan gratis selama pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/Novrian Arbi/aww.ANTARA FOTO/NOVRIAN ARBI Massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat melakukan aksi unjuk rasa di Taman Vanda, Bandung, Jawa Barat, Kamis (2/7/2020). Mereka menyuarakan sejumlah aspirasi diantaranya agar pemerintah agar membuka pembahasan RUU PKS, menarik Omnibus Law dan memberikan pendidikan gratis selama pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/Novrian Arbi/aww.
Dalam banyak kasus, ia menambahkan, para korban kekerasan seksual justru tidak berani melaporkan kasus mereka kepada aparat berwajib.

Hal itu disebabkan oleh kekhawatiran keluarga korban akan diasingkan oleh warga karena perbuatan itu dianggap sebagai sebuah aib.

"Yang menyedihkan itu korban dan keluarga itu sering kali juga diasingkan oleh lingkungannya sendiri," kata Livia dalam webinar bertajuk 'Urgensi Penghapusan Kekerasan Seksual yang Komprehensif', pada 6 Agustus lalu.

Baca juga: Kasus Fetish Kain Jarik, Pelaku Ditetapkan sebagai Tersangka UU ITE

Oleh sebab itu, menurut dia, pembahasan RUU PKS menjadi salah satu yang sangat mendesak untuk dilakukan pada saat ini.

Livia mengungkapkan, ada tiga alasan mengapa RUU itu perlu segera disahkan.

Pertama, Indonesia membutuhkan aparat penegak hukum yang responsif terhadap korban kekerasan seksual.

"(Sehingga) penuntut umum dan hakim itu paham apa yang harus dilalui korban," kata dia.

Selanjutnya terkait bukti dalam kasus kekerasan seksual. Menurut dia, surat keterangan dari psikolog dan dokter kejiwaan, sudah menjadi alat bukti yang cukup. Di samping keterangan dari saksi korban.

"Dan ini kita juga di LPSK kami juga mendapati kasus banyak-banyak yang tiba-tiba SP3 atau yang tidak dilanjutkan karena masalah (bukti)," ujarnya.

Baca juga: Kekerasan Seksual Anak Marak Terjadi, RUU PKS Dinilai Mendesak

Terakhir, ketentuan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual agar hal serupa tak terulang kembali. Ia mengatakan, rehabilitasi dalam RUU PKS tidak menjadi opsi selain hukuman kurungan, tetapi kewajiban yang harus dijalani selama menjalani masa pidana.

"Jadi bukan sebagai alternatif dari pemidanaan tapi selama pemidanaan itu perlu ada rehabilitasi itu supaya keberulangannya tidak," imbuhnya.

Namun yang jadi persoalan, RUU PKS justru telah dikeluarkan dari prioritas Program Legislasi Nasional 2020. Ketua Komisi VII Yandri Susanto berdalih, pembahasan RUU yang menjadi inisiatif DPR itu menuai banyak pro dan kontra di masyarakat.

"RUU PKS kami keluarkan. Betul banyak yang mendesak untuk itu diselesaikan, tapi banyak juga yang mendesak untuk ditunda dulu. Artinya, pro kontranya sangat tinggi," kata Yandri seperti dilansir dari Kompas.TV, pada 1 Juli lalu.

Sikap DPR pun memunculkan keprihatinan. Pasalnya, sikap tersebut diambil di tengah kasus kekerasan seksual yang semakin meningkat.

"Harapan masyarakat cukup besar agar pada 2021 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bisa menjadi prioritas di DPR," kata Ratna.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Peringati Hari Buku Sedunia, Fahira Idris: Ketersediaan Buku Harus Jadi Prioritas Nasional

Peringati Hari Buku Sedunia, Fahira Idris: Ketersediaan Buku Harus Jadi Prioritas Nasional

Nasional
KPK Terima Pengembalian Rp 500 Juta dari Tersangka Korupsi APD Covid-19

KPK Terima Pengembalian Rp 500 Juta dari Tersangka Korupsi APD Covid-19

Nasional
Megawati Diyakini Tak Goyah, PDI-P Diprediksi Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Megawati Diyakini Tak Goyah, PDI-P Diprediksi Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Nasional
Digugat ke Pengadilan, Bareskrim: Penetapan Tersangka Kasus TPPU Panji Gumilang Sesuai Fakta

Digugat ke Pengadilan, Bareskrim: Penetapan Tersangka Kasus TPPU Panji Gumilang Sesuai Fakta

Nasional
Soal Peluang PDI-P Gabung Koalisi Prabowo, Guru Besar UI: Megawati Tegak, Puan Sejuk

Soal Peluang PDI-P Gabung Koalisi Prabowo, Guru Besar UI: Megawati Tegak, Puan Sejuk

Nasional
Jokowi Minta Kepala BNPB Cek Masyarakat Sulbar yang Belum Dapat Bantuan Pascagempa

Jokowi Minta Kepala BNPB Cek Masyarakat Sulbar yang Belum Dapat Bantuan Pascagempa

Nasional
Jokowi Beri Isyarat Perpanjang Masa Jabatan Pj Gubernur Sulbar Zudan Arif

Jokowi Beri Isyarat Perpanjang Masa Jabatan Pj Gubernur Sulbar Zudan Arif

Nasional
Jokowi Janji Bakal Bangun Asrama dan Kirim Mobil Listrik ke SMK 1 Rangas

Jokowi Janji Bakal Bangun Asrama dan Kirim Mobil Listrik ke SMK 1 Rangas

Nasional
Prabowo-Gibran Bersiap Kembangkan Koalisi Pasca-putusan MK

Prabowo-Gibran Bersiap Kembangkan Koalisi Pasca-putusan MK

Nasional
Dirut Pertamina Paparkan Bisnis Terintegrasi yang Berkelanjutan di Hannover Messe 2024

Dirut Pertamina Paparkan Bisnis Terintegrasi yang Berkelanjutan di Hannover Messe 2024

Nasional
KPK Nyatakan Siap Hadapi Gugatan Gus Muhdlor

KPK Nyatakan Siap Hadapi Gugatan Gus Muhdlor

Nasional
“Dissenting Opinion”, Hakim MK Arief Hidayat Usul Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

“Dissenting Opinion”, Hakim MK Arief Hidayat Usul Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
Jokowi Resmikan 147 Bangunan Pascagempa dan 3 Ruas Jalan Daerah di Sulbar

Jokowi Resmikan 147 Bangunan Pascagempa dan 3 Ruas Jalan Daerah di Sulbar

Nasional
Pertemuan Megawati-Prabowo, PDI-P: Yang Sifatnya Formal Kenegaraan Tunggu Rakernas

Pertemuan Megawati-Prabowo, PDI-P: Yang Sifatnya Formal Kenegaraan Tunggu Rakernas

Nasional
Prabowo Akan Bertemu Tim Hukumnya Hari Ini, Bahas Putusan MK

Prabowo Akan Bertemu Tim Hukumnya Hari Ini, Bahas Putusan MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com