Dalam banyak kasus, ia menambahkan, para korban kekerasan seksual justru tidak berani melaporkan kasus mereka kepada aparat berwajib.
Hal itu disebabkan oleh kekhawatiran keluarga korban akan diasingkan oleh warga karena perbuatan itu dianggap sebagai sebuah aib.
"Yang menyedihkan itu korban dan keluarga itu sering kali juga diasingkan oleh lingkungannya sendiri," kata Livia dalam webinar bertajuk 'Urgensi Penghapusan Kekerasan Seksual yang Komprehensif', pada 6 Agustus lalu.
Baca juga: Kasus Fetish Kain Jarik, Pelaku Ditetapkan sebagai Tersangka UU ITE
Oleh sebab itu, menurut dia, pembahasan RUU PKS menjadi salah satu yang sangat mendesak untuk dilakukan pada saat ini.
Livia mengungkapkan, ada tiga alasan mengapa RUU itu perlu segera disahkan.
Pertama, Indonesia membutuhkan aparat penegak hukum yang responsif terhadap korban kekerasan seksual.
"(Sehingga) penuntut umum dan hakim itu paham apa yang harus dilalui korban," kata dia.
Selanjutnya terkait bukti dalam kasus kekerasan seksual. Menurut dia, surat keterangan dari psikolog dan dokter kejiwaan, sudah menjadi alat bukti yang cukup. Di samping keterangan dari saksi korban.
"Dan ini kita juga di LPSK kami juga mendapati kasus banyak-banyak yang tiba-tiba SP3 atau yang tidak dilanjutkan karena masalah (bukti)," ujarnya.
Baca juga: Kekerasan Seksual Anak Marak Terjadi, RUU PKS Dinilai Mendesak
Terakhir, ketentuan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual agar hal serupa tak terulang kembali. Ia mengatakan, rehabilitasi dalam RUU PKS tidak menjadi opsi selain hukuman kurungan, tetapi kewajiban yang harus dijalani selama menjalani masa pidana.
"Jadi bukan sebagai alternatif dari pemidanaan tapi selama pemidanaan itu perlu ada rehabilitasi itu supaya keberulangannya tidak," imbuhnya.
Namun yang jadi persoalan, RUU PKS justru telah dikeluarkan dari prioritas Program Legislasi Nasional 2020. Ketua Komisi VII Yandri Susanto berdalih, pembahasan RUU yang menjadi inisiatif DPR itu menuai banyak pro dan kontra di masyarakat.
"RUU PKS kami keluarkan. Betul banyak yang mendesak untuk itu diselesaikan, tapi banyak juga yang mendesak untuk ditunda dulu. Artinya, pro kontranya sangat tinggi," kata Yandri seperti dilansir dari Kompas.TV, pada 1 Juli lalu.
Sikap DPR pun memunculkan keprihatinan. Pasalnya, sikap tersebut diambil di tengah kasus kekerasan seksual yang semakin meningkat.
"Harapan masyarakat cukup besar agar pada 2021 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bisa menjadi prioritas di DPR," kata Ratna.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.